Memangnya salah siapa, jika Aku terlahir sebagai Anak dari seorang Bapak yang katanya keturunan Dukun?!
Yang kabarnya, sudah turun temurun Keluarga Bapak menganut Ilmu Hitam.
Padahal yang ku tahu seumur hidupku, Aku tidak pernah sekalipun melihat, ada orang yang minta pertolongan Bapak untuk melukai orang lain. Baik itu untuk menyantet, mengguna-gunai, atau hal mistis lainnya yang dapat merugikan orang lain.Memangnya salah siapa, jika Ibuku meninggal dunia pada saat melahirkan Aku?!
Memangnya salah siapa, jika kemudian Pak Nurdin yang Kepala Desa itu mati secara tiba-tiba?!
Padahal sudah jelas-jelas pihak Puskesmas dan Dokter dari kota mengatakan, jika kematian Pak Nurdin dikarenakan serangan jantung. Sebab pada sehari sebelum pria tua itu jatuh sakit, ia di datangi oleh orang-orang dari pihak kepolisian. Karena diduga Pak Nurdin melakukan pencabulan terhadap seorang Anak dibawah umur!
Lalu, memangnya salah siapa, jika tiba-tiba Warga Desa diserang kekeringan?!
Salahku?!
Salah Bapakku?!Kenapa tak Kalian salahkan saja Takdir dan Tuhan sekalian?!
Bukan Aku dan Bapakku!Aku tidak pernah meminta dilahirkan ke dunia ini!
Seandainya pun Aku memang harus memilih, tentu saja Aku lebih memilih tak terlahir dari Keluarga ini!*
"Sudah waktunya menjemput Kiki, Pebi!" Teriakan Emi, Perempuan yang gemar berdandan menor dan sudah hampir Enam tahun dinikahi oleh Bapak itu, terdengar nyaring diantara suara musik Dangdut yang berasal dari radio butut milik Kami.
Aku meregangkan kedua tangan, sekali lagi menguap. Ah, malas rasanya untuk beranjak dari tempat tidurku sore ini.
Menyebalkan memang!
Disaat semua anak remaja seusiaku sudah berdandan rapi, dan bersiap untuk datang ke Pasar Malam, yang diadakan Satu tahun sedikitnya Empat kali di lapangan Kantor Kepala Desa, Aku malah masih harus berkutat dengan begitu banyak pekerjaan rumah.
Dan saat tadi, Aku baru saja selesai menyiram tanaman di belakang rumah, memberi makan bebek peliharaan Bapak, mencuci piring di pancuran yang berada tak jauh dari kandang kambing di belakang rumah Kami, ketika Emi memanggilku.
Belum lagi saat ini, Aku harus pula menjemput Kiki di rumah Via.Sudah Tiga hari Kiki mengamuk, karena ingin dibelikan Tipi besar seperti di rumah temannya itu.
Mikir dong!
Via itu, Bapaknya adalah seorang Pegawai Negeri Sipil, dan Ibunya, adalah seorang Bidan di Rumah Sakit di Kota. Wajar saja jika mereka mampu membelikan ini itu dan segalanya untuk Via.
Sedangkan Bapak, Bapak hanyalah seorang kuli panggul di Pasar.
Berapa gajinya?
Paling banter sehari hanya pulang membawa uang Enam puluh ribu.
Itu pun jika di Kampung banyak hajatan, sehingga banyak warga yang belanja di pasar.
Tapi jika tidak, uang Sepuluh ribu saja sudah untung masih bisa didapat oleh Bapak.Kiki, adalah satu-satunya Adik tiriku, dari pernikahan Bapak dengan Ema. karena Aku, terlahir sebagai Anak semata wayang Bapak. Aku tidak tahu siapa Ibuku, dimana ia dan kenapa Ibu meninggal dunia.
Bapak juga tidak pernah bercerita soal Ibu. Bapak hanya sering mengatakan padaku, jika Ibu adalah seorang perempuan cantik, lembut dan sangat menyayangi Aku.Sering sekali Aku mencoba bertanya perihal Ibu, atau dimana keluarganya dan sebagainya kepada Bapak, tapi Bapak selalu bungkam kecuali jawaban-jawaban yang ia berikan di atas tadi.
Sudahlah, Aku juga tidak suka memaksanya. Bagiku, keluarga yang saat ini kumiliki sudah cukup. Aku menyayangi keluargaku, terutama Bapak.
Jam menunjukkan pukul Lima sore. Aku beranjak dari tempat tidur, kemudian mengikat sembarang rambut panjangku.
Sekali lagi Aku meregangkan tubuh penatku, lalu melongokkan kepala ke luar jendela.Langit masih cerah sore ini, dari kejauhan Aku bisa mendengar suara-suara keramaian di lapangan Kantor Desa. Pertanda pasar malam sudah mulai dibuka.
"Pebi!" suara Ema terdengar kembali dari luar sana.
"Iya sebentar!" jawabku, kemudian berjalan malas keluar dari kamar.
Aku memang tidak pernah melawan perintah orangtua ku. Selelah apapun Aku, Aku selalu menuruti apapun yang mereka minta. Bukan takut, tapi Aku merasa hidupku sudah cukup lelah untuk memikirkan banyak hal, jika Aku harus berdebat terutama dengan Ema, itu hanya akan menambah beban di dalam kepalaku.
"Bapak belum pulang?" tanyaku sebelum benar-benar keluar dari dalam rumah.
Ema meletakkan bakul nasi ke atas meja, sambil menata piring di atas meja, Ema menggeleng.
"Belum, mungkin sebentar lagi. Sana pergi, sebelum kemalaman," jawabnya.
Aku mengangguk, lalu berjalan keluar dan mengenakan sendal jepitku. Melangkah menuju samping rumah, untuk mengambil sepeda kumbang milikku yang dibelikan Bapak beberapa tahun yang lalu.
Satu-satunya barang berharga yang kumiliki hanyalah sepeda ini. Untuk ke Sekolah ataupun bermain. Walau sesungguhnya Aku tidak mempunyai banyak teman di kampung ini. Entahlah, apa yang membuat orangtua teman-temanku seperti tidak mengijinkan anak-anaknya bermain denganku.
Sekali lagi Aku tidak mau ambil pusing. Kiki bagiku sudah cukup sebagai teman dalam keseharianku. Walau kadang anak itu memang sering menyebalkan.
Aku mulai mengayuh sepedaku di jalanan setapak, menerbangkan debu dari setiap kayuhan yang kulakukan. Kemarau panjang memang sedang melanda Kampungku beberapa bulan terakhir ini, sehingga banyak sawah kekeringan, sumur warga banyak yang ikut kering juga.
Dan sekali lagi, Mereka menyalahkan kekeringan ini terjadi karena ulah Bapak!
Aku tidak mengerti, kenapa segala hal yang berhubungan dengan kesialan yang terjadi di Kampung ini, semua selalu dihubung-hubungkan dengan keluarga kami, terutama Bapak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjalanan Pebi
Mystery / Thriller** Mereka menyebutku aneh, mereka memanggilku Idiot, mereka menutup hidung ketika aku lewat, mereka mengangkat sebelah bibir ketika Aku berbicara. Aku, di mata mereka tak ubahnya sebuah barang rongsok yang tidak berguna. Aku, Pebi...