Surat Wasiat

464 52 0
                                    

"Febi ..."

Suara Om Haris menyadarkan Aku dari lamunan.
Buru-buru Aku menepis segala apa yang ada dalam pikiranku. Kemudian, berbalik dan menghampiri Om Haris.

Tapi ada sesuatu yang tiba-tiba kurasakan. Air mataku meleleh secara tiba-tiba, tanpa kusadari. Aku menunduk, berusaha menghapus airmata ini berkali-kali.

"Duduklah..." ujarnya.

Aku mengangguk. Kemudian duduk disamping Om Haris dengan kepala masih kutundukkan dalam-dalam. Aku tidak ingin Om Harris melihat air mataku, sebab Aku sendiripun tidak tahu mengapa Aku menangis.
Sejenak suasana hening. Aku diam, menunggu Om Haris memulai pembicaraan.

"Febi, ada hal yang ingin kubicarakan padamu..." ujarnya setelah beberapa saat Kami saling diam.

"Soal apa, Om?" tanyaku.

"Aku sudah tua, sedangkan Aku tidak memiliki Satupun Keluarga dalam hidupku ..." Om Haris melayangkan pandangannya, pada pigura besar itu.

Perlahan kuangkat kepalaku, dan menatap wajah Om Harris.

"Me... Memangnya, dimana Anak dan Istri Om? Maaf ..." Aku menunduk lagi setelah mengucapkan hal itu. Tidak enak hati sebenarnya, tapi... Sudahlah, sudah terlanjur kukatakan.

"Istriku pergi, meninggalkan Aku sejak lama. Karena, Aku tidak bisa mempunyai keturunan," jawabnya. Aku menahan napas, ada sesal mengapa Aku menanyakan hal itu padanya. Om Harris pasti terluka atas pertanyaanku.

Wajahnya murung, membuatku semakin merasa bersalah. Tapi Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya diam, hanya itu tentu saja...

"Om, lalu, siapa bayi yang di dalam gendongan perempuan itu?" tanyaku kemudian. Entah mengapa tiba-tiba dari mukutku meluncur begitu saja pertanyaan itu. Ingin rasanya kutampar mulutku sendiri setelahnya.

Hening...

Om Haris nampak lebih gelisah dari sebelumnya. Aku mengernyit, menatapnya melalui ekor mataku. Rasanya... Aku menangkap sesuatu yang aneh.

"Dia... Febi, dengarkan Aku. Aku hampir lupa mengatakan tujuanku memanggilmu kemari," ujarnya sambil terkekeh.

Aku diam tak bergeming.

"Begini... Febi, Aku sudah memanggil pengacara, dan Aku sudah membuat sebuah surat wasiat...

Hening.

"Jika suatu saat Aku meninggal dunia, maka seluruh harta kekayaanku kuserahkan padamu, dan Kiki." Lanjutnya.

Aku tersentak.

Wasiat itu warisan bukan?
Aku?
Om Haris akan memberikan seluruh hartanya padaku dan Kiki?
Berapa banyak?
Bukankah harta Om Haris banyak sekali?
Kenapa Aku?
Bukankah Aku hanya Anak sahabat Om Haris?

"Om, tapi kenapa Kau melakukannya? Maksudku, kenapa Aku?" tanyaku.

Om Harris menatapku dalam sekali.

"Kenapa Om harus memberikan semuanya padaku dan Kiki? Lagipula, Om sehat, Om tidak sakit apa-apa, kenapa Om membicarakan soal kematian?

"Kata Bapak, kematian itu adalah rahasia. Tidak ada Satupun manusia yang dapat menebaknya. Termasuk Om Haris..." jelasku meski dengan suara terputus-putus.

Om Haris tersenyum sambil menatapku dalam sekali.

"Tidak salah, Yons mendidikmu dengan begitu baik ..." gumamnya.

Aku mengernyit dan menatapnya.

"Maksud Om?"

Om Haris nampak terkejut.

"Ya, Bapakmu memang luar biasa, Febi ..." jawabnya.

Aku mengangguk, dalam hal ini, Aku pasti sangat setuju sekali. Bapak memang luar biasa, tidak ada Bapak yang sebijak Bapakku di dunia ini. Aku menyayangi Bapak...

Perjalanan PebiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang