Aku Kembali

457 46 1
                                    

Empat Tahun Kemudian

"Kiki, buruan! Kita tidak punya banyak waktu, kereta akan meninggalkan Aku jika Aku terlambat!" Aku berteriak di lantai Satu.
Sambil sesekali menatap jarum jam dipergelangan tanganku.
Kiki berlari menuruni anak tangga.
Gadis itu, kini sudah besar dan sudah duduk dibangku SMP kelas Satu.

Kami berdua berlari, dan meminta Pak Ujang untuk mengemudikan mobil dengan sedikit ngebut.

Kiki turun di depan gerbang sekolah, setelah mengecup pipiku.
"Kakak nggak akan lama 'kan?" tanyanya sebelum Aku pergi. Aku menggeleng.

"Nggak, paling satu atau dua hari," jawabku. Kiki tersenyum kemudian mengangguk.

Aku melambaikan tangan padanya, dan meminta Pak Ujang segera melajukan mobil menuju Stasiun kereta api.

*

Aku sudah berada di dalam kereta api, mencoba untuk santai dengan beberapa kali mengganti posisi dudukku. Sesungguhnya Aku memanh gelisah, dan entah apa lagi yang Aku rasakan saat ini.

Suara pluit masinis terdengar melengking, pertanda kereta akan segera melaju, meninggalkan stasiun, dan lebih dekat membawa diriku pada sebuah masa lalu.

Dua jam lagi, kereta api akan membawaku pada masa lampau. Seolah gulungan pita kaset, segala bentuk pengalaman berputar refleks dikepalaku. Ya, Aku akan kembali menjejakkan kakiku setelah Empat tahun berlalu. Pada sebuah Desa yang sangat kurindukan, sekaligus kubenci.

*

Aku mencoba memejamkan kedua mataku berulang kali, namun tak berhasil.
Waktu berjalan seakan begitu cepat, melintasi rel kereta api, dan juga kenangan yang menyakitkan.
Dadaku seakan membuncah, ketika tiba-tiba saja gerbong kereta sudah mulai mendekati tujuan. Udara yang kuhirup bahkan sudah terasa berbeda. Beraroma sejuk sekaligus menyesakkan.

Semakin cepat roda kereta berputar, dan saat ini, Aku melewati perbatasan Desa Hutan Larangan. Di mana beberapa tahun yang lalu, Aku dan Kiki tersaruk menuruni bukit terjal, dengan lapar dan kelelahan.

Lalu Kami membongkar celengan, hingga terlelap di atas mobil pengangkut sayur, seakan tidak satu senti pun Aku melewatkan kenangan itu dalam ingatanku.

*

Lihatlah, kini Aku sudah tumbuh menjadi gadis yang cantik, tinggi semampai dengan wajah yang kian hari semakin mirip Ibu.
Rambut panjangku tergerai. Halus dan harum.

Sebuah jam tangan mewah seharga ratusan juta melingkar pada pergelangan tanganku, pada warna kulitku yang kini putih bersih.

Aku bukan Pebi yang dulu, Aku adalah Febi Anggia Murni, satu-satunya pewaris tunggal dari keluargaku. Satu-satunya pengusaha termuda dengan harta kekayaan berlimpah. Febi yang memiliki perusahaan dan anak cabang yang begitu banyak tersebar di berbagai Kota besar diseluruh Negeri.

*

Jantungku benar-benar terasa mau melompat saja, ketika Masinis membunyikan klakson panjang, kemudian Kereta mulai merangkak semakin pelan.

Itu artinya, dalam hitungan tiga puluh menit kemudian, Aku akan berada di Desa itu, Desa yang diselimuti kenangan pahit dalam hidupku. Desa yang sanggup mengantungi dendam dalam seluruh pikiranku.

Perjalanan PebiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang