Aku berdiri di gerbang keluar stasiun kereta api. Kedua tanganku basah oleh keringat, dan kepalaku sedikit pening.
Aku mengedarkan pandangan, stasiun ini adalah satu-satunya stasiun yang dimiliki oleh Kota kecil ini. Aku tersenyum getir, menatap sebuah aktifitas yang berada tepat di seberang stasiun kereta yang kini tengah kupijak.
Disanalah, setiap hari Bapak bekerja demi menghidupi Kami sekeluarga. Setiap pagi seusai shalat subuh, Bapak mengayuh sepeda ontel dari Desa menuju pasar. Dan pulang hampir malam tiba, dengan membawa uang yang tidak seberapa.
Aku merasakan kedua mataku memanas. Dadaku sesak, dan pandanganku mulai mengabur.
Aku menghapus kasar air mata yang jatuh, dan kuhirup udara dalam-dalam."Neng, ojek?" suara seseorang membuyarkan lamunanku. Aku berpaling pada pria yang berdiri di sebelahku.
Solihin...
Pria yang waktu itu memakiku, dan mengatakan jika Aku adalah Anak pembawa sial.
Kedua mataku menatap nyalang, Solihin adalah salah satu orang yang pantas mendapat balasan, atas sikapnya di masa lalu terhadapku!"Mau kemana Neng? Dua puluh ribu aja jauh dekat, dari pagi sama sekali belum ada penumpang. Istri saya mau melahirkan," ucapan Solihin kembali menyadarkanku.
Aku tertegun, masih pantaskah Aku membalas dendam pada orang yang saat ini sudah mendapatkan karma atas kelakukannya di masa lalu?
Aku menghela napas panjang, kemudianengembuskannya pelan.
Entah apa yang mendorongku untuk menganggukkan kepala, namun saat ini, Aku melihat senyum diwajah pria tersebut.Solihin sepertinya tidak mengenaliku, sebab sepanjang jalan Ia tidak berkata apapun. Kami mulai melintasi pesawahan, jalan berlubang yang masih sama, namun Desa itu jauh berbeda dengan Empat tahun yang lalu.
Disepanjang jalan Desa ini sudah banyak rumah-rumah yang berdiri di atas tanah yang dahulu hanya kebun-kebun singkong.
Di atas motor yang kutumpangi, kepalaku tak henti menengok kiri dan kanan.Tujuanku adalah rumah Inoy, sahabatku satu-satunya yang tidak pernah mengejekku, dan berteman denganku. Karena... Nasib Kami memang serupa.
*
Inoy sedang membantu Kakek menjemur padi. Masih sama, seperti Empat tahun yang lalu ketika Aku meminta Solihin menghentikan motornya. Solihin membuka kaca helm saat Aku turun, dan menatapku lekat.
"Neng ini mau kemana?" tanyanya. Aku merogoh dompet dan mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribuan.
"Rumahku dulu disini. Aku Pebi," jawabku sambil menyerahkan uang pada Solihin.
Solihin sangat terkejut mendengar jawabanku, pria itu menatapku dalam sekali.
"Pe... Pebi yang..."
"Iya," potongku.
"Ya Allah, Pebi... Saya mau minta maaf soal dulu," ujarnya sambil membuka helm. Aku mengangguk datar.
"Tidak apa, Aku sudah melupakannya," jawabku seraya pergi meninggalkan Solihin. Pria yang mungkin usianya 15 tahun lebih tua dariku itu masih diam di atas motornya, hingga Aku menjauh darinya.
"Neng, ini ongkosnya kebanyakan!" suara Solihin. Aku berbalik dan menggelengkan kepala, lalu... Tersenyum.
Entahlah, ada sesuatu yang tidak bisa kujelaskan saat ini. Perasaan dendam itu perlahan memudar dalam dadaku. Setidaknya Aku bersyukur, itu pertanda bahwa Aku masih memiliki sedikit rasa kemanusiaan dalam jiwaku yang sudah diselimuti dendam bertahun-tahun.
Aku melanjutkan langkah setelah Solihin pergi, menghampiri Inoy dan Kakeknya.
"Assalamualaikum..." sapaku.
Inoy dan Kakeknya menoleh kepadaku, kemudian keduanya saling bertatapan.
"Waalaikumsallam ... Mau mencari siapa?" ujar Kakek Inoy sambil berjalan menghampiriku.
Aku tersenyum, kemudian buru-buru meraih tangannya dan mencium punggung tangan Pria tua itu, yang terkejut dan hampir menepiskan tanganku.
"Mbah, Aku Pebi..." ujarku.
Kakek Inoy dan Inoy terbelalak. Keduanya serentak membuka tudung yang menutupi kepalanya, kemudian serentak mengucap,
"Astagfirullah, Pebi!" Inoy menjerit.
Ia spontan merangkulku, dan Aku membalasnya erat sekali.
"Pebi, kupikir Kamu..."
"Sudah meninggal?" potongku seraya terkekeh.
"Sudah-sudah, sana ajak Pebi masuk dulu Noy! Kasihan mungkin Pebi lelah. Nanti lanjutkan bercerita!" ujar Kakek Inoy menengahi.
Inoy mengangguk. Kemudian menggamit lenganku untuk masuk ke dalam rumah.Rumah itu masih sama seperti Empat tahun yang lalu, bahkan jika kuperhatikan, kayu-kayu rumah tersebut sudah banyak yang lapuk dimakan rayap.
Inoy adalah sahabat terbaikku. Kakek Inoy memperlakukan Aku sudah seperti cucunya sendiri.
Bapak Inoy pun sudah meninggal dunia, pada saat Inoy masih berumur Lima tahun. Sedangkan Ibunya, pergi meninggalkan Inoy untuk bekerja sebagai Tkw, dan tidak pernah pulang lagi hingga pada saat Aku masih berada di Desa ini.
Atas nasib yang kurang lebih sama itulah, akhirnya kami sepakat untuk bersahabat. Terlebih... Karena kondisi keluarga Kami memang sama-sama kurang beruntung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjalanan Pebi
Mystery / Thriller** Mereka menyebutku aneh, mereka memanggilku Idiot, mereka menutup hidung ketika aku lewat, mereka mengangkat sebelah bibir ketika Aku berbicara. Aku, di mata mereka tak ubahnya sebuah barang rongsok yang tidak berguna. Aku, Pebi...