"Kakak, Aku lelah..." keluh gadis berusia Tujuh tahun itu sambil menjatuhkan tubuhnya di atas rerumputan.
"Sebentar lagi, Kiki," Aku menggendong tubuh Kiki dengan sisa-sisa tenagaku.
Dan Aku kembali melanjutkan langkah, menuju ke dalam hutan lebih dalam lagi, demi menyelamatkan diri dari amukan warga yang sungguh tidak pernah ku mengerti hingga detik ini.
"Tapi ini sudah malam Kak, kata Bapak jangan main di hutan, itu bahaya..." ujar Kiki sambil membenamkan kepalanya pada bahuku.
Aku tak menjawab ucapan Kiki, Aku masih terus berjalan semakin jauh, semakin dalam menembus jalan setapak yang biasanya dilalui oleh para pencari rumput, kayu bakar atau babi hutan.
Dari kejauhan Aku masih mendengar lolong anjing dan Sirine Polisi saling bersahutan.
Apa gunanya?
Kedatangan mereka tidak akan mengembalikan Bapak dan Emi!*
Hari hampir pagi, ketika Aku dan Kiki tiba di sebuah gubuk di tengah hutan.
Gubuk kecil itu dibuat oleh Bapak, tempat Kami beristirahat sehabis lelah mengumpulkan getah karet milik perkebunan Pemerintah.Sesungguhnya tempat ini bukan tempat yang aman, karena besok pagi, akan ada warga yang mengumpulkan getah di area ini.
Namun setidaknya, Aku dan Kiki dapat beristirahat sejenak, untuk kemudian kembali melanjutkan perjalanan.Entah kemana...
*
Aku menatap Kiki yang terlelap karena kelelahan. Dengan hanya beralaskan kaos milikku, dan tas besar sebagai bantalnya.
Aku menatap jauh pada gelap di sekeliling. Terbayang kembali, wajah Bapak, wajah Emi, dan tragedi yang baru saja Aku saksikan oleh mata kepalaku sendiri.
Air mataku jatuh, hingga tubuhku bergetar hebat. Aku menatap bulan tenang, dan sebuah bintang yang berkedip padaku.Entah bagaimana nasibku kini, nasib Kiki, dan nasib masa depan Kami.
Kemana Aku harus pergi?
Ketika dusun yang Aku tinggali sudah tak lagi ramah.
Meski sesungguhnya... Mereka memang tidak pernah ramah kepadaku.Tapi setidaknya, dulu, kemarin, Kami masih memiliki tempat tinggal. Namun kini, semua sudah menjadi abu, Istana kecil kami, kini sudah rata dengan tanah.
'Bapak... Maafkan Aku...'
Tangisku pecah, Aku lelah!
Tapi pada siapa Aku menyalahkan semua ini?Pada takdir?
Pada pemilik takdir?
Tidak wajarkah jika dendam, kini menjadi penguasa dalam diriku?*
"Kiki, bangun... Kita harus pergi!" Aku mengguncang tubuh Kiki.
Kiki menggeliat, Ia meringis, menahan perih pada tumitnya."Kakiku sakit, Kak ..." keluhnya.
Aku mengusap wajah perempuan kecil itu, kemudian tersenyum."Belum seberapa, perjalanan Kita masih jauh, Kiki. Lekaslah, sebelum warga menemukan keberadaan Kita," jawabku.
"Memangnya kenapa warga mencari Kita? Apa salah Kita? Aku tidak pernah nakal, Kakak ..." pertanyaan lugu itu meluncur dari bibir Kiki.
"Sudahlah, nanti Aku ceritakan. Sekarang, Kita bersiap. Ayo!" jawabku.
"Bapak dan Ibu?" tanya Kiki kemudian. Pertanyaan yang paling kutakuti itu akhirnya meluncur juga dari mulut Adikku.
"Bapak dan Ibu ... Ahh Kiki, sudah kubilang nanti kuceritakan! Ayolah ..." Aku menarik lengan Kiki. Kemudian meninggalkan Gubuk tersebut, jauh dan semakin jauh ke dalam hutan.
*
Hutan bukan tempat yang aman untuk bermain anak-anak.
Terlebih lagi, di dalam hutan sana yang kini sedang kami lalui, ada sebuah tempat yang di Sakral kan oleh warga. Sebuah tempat yang bernama Hutan Larangan. Dimana konon, katanya pernah terjadi sebuah tragedi pada sebuah Kerajaan di Desa Kalitujuh.Namun kini, Kiki dan Aku sedang berjalan ke arah sana. Hanya untuk melintas, dan mencari jalan lain menuju Desa seberang.
Aku meminta Kiki untuk menggulung celananya hingga ke lutut, karena Kami akan menyeberangi sungai kecil.
Kiki takut, namun setelah kubujuk berkali-kali, gadis itupun menyerah.
Kami berjalan bergandengan tangan, mencelupkan kedua kaki pada suhu air yang sangat dingin.Kabut seakan menyelimuti tubuh kami, menghalangi pandangan kami, dan Aku harus menggunakan segenap naluriku untuk berhasil menyebrangi sungai tersebut.
Sebab jika tidak, Aku tak tahu bagaimana nasib kami berdua. Mungkin terpeleset, lalu hanyut bersama air sungai.Tapi kembali kuyakinkan diriku, Kami akan selamat hingga ke seberang sana, aku meyakini hal itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjalanan Pebi
Misterio / Suspenso** Mereka menyebutku aneh, mereka memanggilku Idiot, mereka menutup hidung ketika aku lewat, mereka mengangkat sebelah bibir ketika Aku berbicara. Aku, di mata mereka tak ubahnya sebuah barang rongsok yang tidak berguna. Aku, Pebi...