Aku merenung, di atas bak mobil bersama sepoi angin yang meniup rambutku yang tergerai. Aku menatap hamparan sawah dan bukit yang Kami lewati. Kedua tanganku masih memeluk buku milik Bapak.
Rasanya, terlalu cepat Tuhan mengambil orang-orang yang kusayangi, tanpa sempat mereka melihatku tumbuh menjadi perempuan dewasa yang berprestasi.
Apa yang kuberikan untuk mereka?
Tak ada!Aku menatap lagi wajah Kiki yang terlelap. Pikiranku kini berkeliaran lagi kemana-mana. Bagaimana nanti Aku bisa menghidupi Kami?
Aku menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan.
Kutatap buku Bapak dalam-dalam. Ada banyak hal yang kutemukan dalam buku milik Bapak, tapi rasanya aneh.Bukankah Bapak hanya lulusan Sekolah Dasar?
Bagaimana Ia bisa menulis begitu banyak resep ramuan-ramuan itu?
Dari mana Bapak mempelajari semua itu?Aku membuka lagi buku berikutnya. Hanya buku kosong, yang tertera sebuah Nama.
HARIS
JL. Merbabu No. 8
KotaHaris?
Bukankah Haris adalah pria yang menemui Bapak sehari sebelum petistiwa itu terjadi?Kepalaku kembali berdenyut, setiap kali Aku berpikir terlalu keras. Nampaknya isi kepalaku sudah terlampau penuh, bahkan untuk sekedar mengingat seseorang.
*
Brug Brug Brugg
"Sudah sampai! Turun turun!"
Suara gedoran dan teriak Sopir membuatku membuka mata. Sesaat Aku diam, kemudian mengedarkan pandangan. Rupanya Aku tertidur saat kepalaku terasa berdenyut tadi.
Aku bangun dengan cepat, lalu memasukkan kembali buku ke dalam tas ku.
Rupanya hari sudah sore, dan Kami sudah berada di Kota."Kiki, Ki... Bangun!" Aku menggoyahkan tubuh Kiki.
Kiki mengerjap, kemudian menatapku."Kita dimana, Kak?" tanyanya sembari mengucek mata.
"Nanti kuceritakan. Ayo turun!" jawabku.
"Selalu begitu, setiap kali Aku bertanya, jawabannya selalu nanti kuceritakan. Huhhh ..." gerutu gadis kecil itu sembari melompat dari bak mobil.
"Pak, terimakasih banyak atas tumpangannya, semoga nanti Bapak pulang dengan selamat," ujarku sambil berdiri di samping pintu mobil.
"Amin. Iya sama-sama, Nak. Memangnya kalian mau kemana?" tanya sopir. Aku diam sejenak.
"Mau ke rumah saudara, rumahnya tidak jauh kok dari sini," jawabku asal. Sopir mengangguk.
"Hati-hati. Pegang tas dan Adikmu baik-baik. Di Kota banyak copet," peringat sopir. Aku kembali mengangguk dan mengucapkan terimakasih.
Kemudian Kami berpamitan, menjauh dari mobil bak yang mengantarkan Kami ke kota ini.
"Kita mau kemana?" tanya Kiki sambil menatap sekeliling.
"Diamlah Ki, Kakak juga nggak tahu mau kemana," jawabku.
Aku mengehela napas panjang beberapa kali, kemudian menghampiri sesosok pria untuk menanyakan alamat.
Pria tua itu nampaknya tahu alamat yang kuberikan. Dengan teliti ia menjelaskan alamat yang kumaksud.
Aku bersyukur, karena menurut informasi pak tua, alamat itu berada tidak terlalu jauh dari sana. Kami tidak harus menaiki angkutan apapun lagi, hanya tinggal berjalan kaki.
Kami berpamitan setelah selalu mengucap terimakasih, sebuah hal yang selalu Bapak peringatkan terhadapku dan Kiki. Bahwa mengucap terimakasih memang sudah seharusnya.
*
Kami berdiri di depan sebuah rumah besar berlantai Dua. Rumah yang sering kubayangkan bahwa suatu saat nanti Aku ingin memilikinya. Aku menggenggam erat jemari Kiki.
Benarkah ini rumah Om Haris?
"Kak, ini rumah siapa?" bisik Kiki tanpa berpaling dari rumah mewah tersebut.
"Om Haris," jawabku pelan.
"Om Haris?" Kiki mengernyit.
"Heh, kalian sedang apa disitu?! Pengemis dilarang masuk!" suara seorang laki-laki berseragam mengagetkanku. Aku menatap langkahnya yang menghampiri Kami.
"Kami... Kami bukan pengemis. Kami mau bertemu Pak Haris. Apakah benar ini rumahnya?" jawabku.
Kedua Pria berseragam biru putuh itu saling tatap. Tak lama, seseorang muncul dari pintu rumah berpakaian santai."Ada apa?!" seru pria itu. Aku memalingkan wajah, benar! Itu Om Haris.
Pria tersebut mendekat, dan Kami saling bertatapan. Oh Tuhan, semoga Om Haris mengenaliku.
Lho, kamu... Febi, bukan?!" seru pria tersebut. Senyumku mengembang, terima kasih Tuhan, ternyata Om Haris masih mengingatku!
"Om Haris!" seruku.
"Masuk, Febi!" lanjut Haris. Aku menggandeng tangan Kiki, dan mengikuti langkah pria itu. Kedua pria tadi membukakan gerbang setelah diperintah oleh Om Haris.
Aku dan Kiki melangkah ragu, mengikuti Om Haris memasuki pekarangan yang sangat besar itu.
*
Aku dan Kiki diam tertegun, menatap isi rumah Om Haris yang luar biasa besar ini. Aku menatap berkeliling, sepertinya Aku tak asing dengan rumah ini. Dalam hati Aku terkekeh, tentu saja tak asing. Rumah besar ini adalah rumah impian yang sering kubayangkan. Bahkan detail yang ada dalam rumah tersebut terasa mirip dengan apa yang sering kubayangkan.
"Duduklah, dan ceritakan padaku bagaimana kalian bisa sampai disini," suara Om Haris menyadarkanku.
Aku mengangguk, lalu mengajak Kiki untuk duduk pada sebuah sofa besar, dengan kulit berwarna coklat tua.
Aku menghela napas dalam-dalam, sebelum menceritakan semuanya. Sementara itu Om Haris menatapku dalam-dalam.
Perlahan, dengan terbata Aku mulai menceritakan semuanya. Semuanya tanpa ada yang terlewati! Sejak kedatangan Om Haris beberapa waktu lalu, hingga kejadian malam itu.
Bahkan hingga semua rasa sakit yang Kualami saat menyaksikan tubuh Bapak menggelepar saat api memanggang Beliau dan Emi.
Haris mengusap wajah, Kedua matanya merah. Sepertinya Ia merasa berdosa, atas kedatangannya ke Desa pada saat itu.
Sementara itu, Kiki menangis histeris, ketika mendengar dariku, jika Bapak dan Ibu sesungguhnya sudah tiada.
Aku berusaha dengan susah payah menenangkannya.Om Haris merangkul tubuh Kiki, dan membawanya ke dalam pelukannya. Hingga Kiki menangis menjerit dalam pelukan Om Haris.
Beberapa waktu Kami diam, hingga Kiki sedikit lebih tenang.
"Maafkan Aku, Febi ... Seandainya saja Aku tidak menemui Kalian, mungkin hal itu tidak akan terjadi ..." ujar Om Haris dengan penuh penyesalan, saat Kiki sudah mulai tenang.
Aku mengembuskan napas panjang.
"Sudahlah Om, jauh sebelum Om datangpun, warga Desa sebenarnya memang tidak pernah menyukai Kami, terutama Aku..." Kutundukkan kepalaku, air mataku jatuh dipangkuan.
Sakit rasanya, menjadi seseorang yang tidak berarti bagi siapapun."Apa sebabnya?" tanya Haris.
Aku tertawa, tawa tergetir yang keluar dari mulutku.
"Karena Bapak keturunan dukun! Bukankah Om tahu soal itu?" ujarku, seraya menatap sinis kepada pria itu.
Sedikit banyaknya, pria itu memang turut andil dalam tragedi yang menimpa Keluarga Kami.Haris mengernyit, kemudian melemparkan pandangan ke luar jendela.
Pria itu murung, menatap lampu-lampu yang berjejer di pagar rumahnya."Sebaiknya kalian istirahat dulu, Febi. Ayo, biar kutunjukkan dimana kamar Kalian," ujar Haris tiba-tiba.
Aku tak menjawab, keputusan Om Haris mungkin tepat. Ini bukan waktu yang tepat untuk mencari salah dan benar, Aku hanya butuh mandi, istirahat dan tidur.
Kami berdiri, kemudian mengikuti langkah Om Haris. Dengan Kiki disampingku yang masih terisak pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjalanan Pebi
Misterio / Suspenso** Mereka menyebutku aneh, mereka memanggilku Idiot, mereka menutup hidung ketika aku lewat, mereka mengangkat sebelah bibir ketika Aku berbicara. Aku, di mata mereka tak ubahnya sebuah barang rongsok yang tidak berguna. Aku, Pebi...