Pulang

468 47 2
                                    

Pagi mendung mengiringi langkahku dan Inoy, menuju lahan kosong bekas tempat tinggalku.
Aku mencoba menahan diri agar tidak menangis. Namun gagal...

Air mataku turun deras ketika kedua kakiku menginjakkan kaki di lahan tersebut.
Pohon mangga itu masih berada di sana. Aku ingat betul, Bapak membuatkan Kami Dua buah ayunan yang terbuat dari tambang, dengan tempat duduknya sebilah kayu.
Ayunan itulah satu-satunya arena bermain Aku dan Kiki.

Dan disana, di dekat sumur tua itu ingatanku kembali tumbuh.
Dimana Emi, sering mengguyurku dengan air dari pancuran, ketika Aku pulang dengan baju kotor sehabis main lumpur di sawah.

Mataku basah. Inoy, menggenggam erat jemariku dan kemudian merengkuh tubuhku. Aku menangis di dalam pelukan sahabatku tersebut.

*

Setelah dari sana, Aku menemui Dua kuburan orang tuaku.
Aku menangis sejadi-jadinya.

Meski sempat kesal dan marah karena Bapak menyembunyikan rahasia besar tentangku, namun Bapak tetaplah Bapakku. Yang seumur hidupnya menghabiskan waktu untuk membesarkanku dan membiayai hidupku. Teelebih, yang menjadikan Aku seperti Febi yang saat ini berdiri di hadapan pusaranya.

"Sudah saatnya melepaskan seluruh kebencian dan dendam dalam hatimu, Pebi. Tidak baik, itu akan menjadi racun dalam dirimu. Tegarlah Nak, buat kedua orangtua angkatmu, dan kedua orangtua kandungmu bangga memiliki Anak sepertimu," ucapan Kakek menggetarkan seluruh persendian dalam tubuhku.

Aku tertegun seusai membacakan doa untuk keduanya. Melepaskan dendam yang sudah kupupuk sejak dulu itu tidak mudah, akan terasa berat. Namun sepertinya Aku memang butuh waktu untuk berpikir, sendiri.

"Ayo pulang, tidak baik berlama-lama disini," ajak Kakek. Aku mengangguk, dan Kami melanhkah pulang.

"Bagaimana kabar Kiki?" tanya Inoy sepanjang perjalanan kembali ke rumahnya.

"Baik, susah payah Aku meyakinkan dia saat itu. Tapi syukurlah, sekarang dia sudah memahami apa arti kepergian," jawabku.

"Alhamdulillah..." ujar keduanya bersamaan.

*

Ini adalah hari kedua Aku berada di Desa ini. Dan sudah waktunya bagiku untuk pulang, untuk kembali lagi kesini, membawa serta Kiki.

Aku sedang merapikan baju ke dalam koper kecilku.
Aku meminta Inoy untuk ikut ke Kota bersamaku. Namun Ia menolak, sebab Ia tidak mungkin meninggalkan Kakek.
Aku paham, tapi Aku berjanji jika Kakek sudah selesai dengan urusan sawahnya, Aku akan mengajak Mereka ke kota barang beberapa hari.

Aku berpamitan, setelah sebelumnya Aku berjanji akan kembali.
Aku juga sudah membelikan banyak sekali kebutuhan pokok untuk mereka, meski berkali-kali Kakek mengatakan agar Aku jangan melakukannya.

Namun niatku memang tulus, Aku menghormati beliau dan menyayanginya seperti Kakek kandungku sendiri.
Inoy melepasku dengan air mata dan pelukan.

"Aku akan kembali kesini, membawa Kiki," ucapku terakhir kalinya.

Di jalan, Solihin sudah menungguku sambil tersenyum. Ternyata melepaskan dendam itu melegakan, setidaknya, jika Kakek tidak memberi wejangan ketika Aku datang malam kemarin, mungkin saat ini Aku akan tetap menunaikan sumpahku, untuk membalas dengan cara apapun. Membakar rumah Mereka, atau menghancurkannya. Aku akan baik-baik daja, sebab uang yang kumiliki bisa membeli apapun, termasuk hukum.

Aku mengusap dada, tenang rasanya, ada damai dan diam-diam sebuah kata syukur kupanjatkan pada Ilahi.

*

"Sudah siap Neng?" tanya Solihin. Aku terkekeh, kemudian mengangguk.

"Jangan panggil Neng, panggil saja Pebi," jawabku. Solihin terlihat malu.

"Sekali lagi maafin Saya ya atas kelakuan tempo hari. Seandainya kemarin Saya tidak bertemu denganmu, Saya tidak tahu bagaimana nasib Istri dan bayi Kami," terang Solihin sambil menerawang.

"Istrinya sudah lahiran Kang?" tanyaku. Solihin mengangguk, senyumnya kembali mengembang.

"Alhamdulillah," ujarku.

Solihin mengangguk, kemudian menghidupkan mesin motor. Aku memeluk Inoy sekali lagi, kemudian mencium punggung tangan si Mbah, dan Kami saling melambaikan tangan.

Sepanjang jalan Solihin banyak bercerita, tentang tragedi malam itu, kemudian bagaimana Tuhan membalas satu persatu dengan tangan-Nya.

Aku menghirup napas dalam-dalam, ada rasa syukur yang menjalar mulai dari ujung kaki, hingga ubun-ubunku. Melepas dan mengikhlaskan itu tak mudah, tapi Aku yakin, semesta akan membayar karma sesuai dengan apa yang kita lakukan di masa lampau.

Perjalanan PebiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang