"Horeeee!" pekik Kiki.
Ketika Dua hari kemudian, Om Haris mengatakan jika Kami akan didaftarkan Sekolah.
Aku diam, hanya menatap wajah Kiki yang terlihat senang sekali.Ingin rasanya Aku menolak tawaran Om Haris, namun bagaimanapun juga, Aku tentu saja tidak boleh egois.
Kiki berhak bahagia, Aku juga seharusnya.Tapi... Aku sudah cukup dewasa untuk mengerti betapa luka di dalam hatiku terlalu dalam, untuk sekedar menyembunyikan kepedihan dengan segurat senyum palsu.
Senang rasanya, melihat senyuman kembali menghiasi wajah polos itu.
Biarlah, biarlah tragedi di Desa itu hanya Aku yang kelak akan menuntut balas.
Ketenangan ini, kesenangan ini, hanya sementara waktu. Karena Aku, akan kembali ke Desa itu dan membalas dendam!Itu janjiku!
Aku bersumpah, demi Bapak yang sangat Aku sayangi...*
Pagi ini, Kami bertiga dengan menggunakan mobil bagus Om Haris, melaju menuju sekolah baru Kami. Aku menatap jalanan yang ramai oleh kendaraan. Sesekali Aku berpikir, bagaimana mungkin akhirnya Aku dapat menginjakkan kaki di kota yang selama ini hanya ada dalam khayalanku, bahkan kini, Aku menjadi salah satu bagian dari Ibukota yang menjadi mimpi banyak orang.
Aku membayangkan lagi, seandainya Aku tidak menemukan alamat Om Haris dibuku Bapak, bagaimana hari ini Aku dan Kiki. Masih bisa makan kah? Masih bisa tidur nyamankah? Atau bahkan masih hidupkah?
Persepsiku tentang bahwa Tuhan tak adil mulai goyah, pernyataan tentang dibalik peristiwa selalu ada hikmah, perlahan merambati pikiranku.
Aku menggelengkan kepala cepat-cepat. Tidak! Rasa sakitku, sakit Bapak, Kiki dan Emi harus terbalaskan. Mereka semua harus merasakan apa yang Kami rasakan, bagaimanapun caranya.
*
Aku tersentak, ketika Om Haris menyentuh pundakku dan memanghil namaku. Kutengokkan kepalaku ke luar jendela kaca mobil, sepertinya Kami sudah sampai di Sekolah.
Aku berpaling pada Om Haris, pria itu mengangguk dan tersenyum. Aku mengangguk, kemudian turun dari dalam mobil.
Om Haris hanya mengantarku hingga gerbang Sekolah. Sementara dirinya, melanjutkan untuk mengantar Kiki.Kiki melambaikan tangannya dari balik kaca, dan Aku membalasnya dengan sebuah senyum penuh semangat. Tentu saja untuk menyemangati dirinya, bukan Aku.
Orang-orang menatapku. Sudah biasa bagiku, ditonton oleh orang-orang ketika Aku lewat di depan Mereka.
Tapi kali ini beda!Aku berada jauh dari Desa, ini Kota, ini surga bagi mereka yang hidup berkecukupan.
Sementara Aku?
Aku hanya tinggal menumpang dengan pria yang sama sekali tidak pernah kukenal sebelumnya. Itupun bisa dengan kapan saja Ia mengusirku dan Kiki semaunya."Pasti dari Kampung ..."
"Lihat saja, aneh ..."
"Iya, sepertinya tidak pernah disisir ..."
"What, Pak Harris?!"
"Ahh pasti Anak jalanan yang dikasihani sama Pak Haris ..."
"Kok bisa ya ..."
Bisikan-bisikan terdengar semakin bersahutan, ketika Aku melewati Mereka.
Aku mempercepat langkah, dan berharap tidak berakhir seperti dalam cerita drama Korea, yang tiba-tiba bertabrakan dengan pria tampan, kemudian tatap-tatapan, dan Kami saling jatuh cinta.
Lalu hubungan Kami tidak direstui oleh orang tua si pria, sebab Aku hanya gadis Kampung, sedangkan si pria seorang anak konglomerat!
Atau semoga saja Aku tidak ...BRAKKKK
Tuuhhhhh kaaan...
Aku terhuyung, kemudian jatuh tersungkur dengan sikut menyenggol ember.
Lalu...
Basahlah seluruh baju seragamku."Neng, tidak apa-apa?!" seru seorang pria. Aku memejamkan mata, dan tidak sanggup membayangkan, jika yang ada dihadapanku adalah pria tampan sedang mengulurkan tangan.
Kubuka mataku perlahan.
Ya Tuhan ...
Pria sebaya Om Haris melambai-lambaikan tangan di depan wajahku. Aku berdiri, mengibas air yang membasahi hampir setengah rok seragamku.
"Aku tidak apa-apa ..." jawabku ketus.
Bagaimana bisa penjaga Sekolah itu menanyakan apa Aku baik-baik saja?! Coba Kau lihat Aku!
Huuhhhhhh ...*
Aku duduk dibangku belakang sebelah kiri. Nampaknya ada sesuatu dengan barisan belakang sebelah kiri. Sebab tidak di Desa maupun di Kota, lagi-lagi Aku kebagian duduk diposisi yang sama.
"Dari mana Kau kenal Pak Harris?" tanya seorang murid perempuan dengan tubuh gempal.
Aku diam tak peduli, tapi kemudian mataku beralih padanya, lalu menunjuk diriku sendiri. Perempuan itu mengangguk."Dari Bapak..." jawabku pelan. Selalu seperti itu, ketika Aku harus menyebut Bapak.
"Kamu dari Kampung?" lanjutnya.
Pertanyaan apa, itu?
Terlalu mendiskriminasi!"Kenapa memangnya jika dari Kampung?" tanyaku.
Baiklah...
Di sini, Aku akan menjadi seorang Febi, Aku akan menjadi seorang gadis hebat! Aku akan berhenti diam, Aku tidak lagi sudi menjadi orang yang selalu disakiti. Aku harus bangkit dengan kedua kakiku. Aku lelah selalu menjadi olok-olokan orang.Dahulu, kata Bapak,
'Tidak mengapa Mereka menggunjingkanmu, jangan Kamu balas. Biarkan saja. Karena jika Kau balas, itu artinya Kamu tidak jauh berbeda dengan Mereka. Orang pintar dimata Tuhan bukan orang yang pandai berkata-kata kepada Manusia, melainkan orang yang diam-diam berpikir bagaimana agar tidak banyak berkata yang akan menyakiti orang lain, sekalipun dia adalah musuhmu,'
Ah Bapak ...
Lalu apa yang Kau dapat atas diammu, atas kesabaranmu?
Kematian dengan cara mengenaskan?
Apakah itu adil?Tidak!
Aku menghela napas panjang. Selama ini, Aku menuruti semua ucapan Bapak atas baktiku kepada Beliau, namun kenyataannya, apa yang aku saksikan malam itu seakan membuatku jengah, membuatku berpikir keras, dan...
Aku tetap akan membalaskan semua perlakuan orang-orang jahat kepadaku, kepada Kiki, kepada Bapak dan Emi!
"Ehm, tidak apa-apa. Pantas saja Kamu aneh," jawab gadis itu seraya cekikikan.
Aku berdiri, kemudian menyilang tangan dan menatap kedua mata gadis itu dengan tajam.
Perlahan tawanya lenyap dari bibirnya yang sedikit berwarna gelap. Gadis itu mundur perlahan, lalu pergi meninggalkanku.Bagus!
Takkan ku biarkan satu orangpun disini menyakiti Aku!
Aku akan terlahir sebagai Febi yang kuat, dihormati dan disegani. Bukan Pebi yang hanya bisa diam, dan menangis dalam ketidak berdayaan.*
Aku sedang tertegun sore ini.
Sebuah pigura besar yang terpampang di ruang keluarga itu sudah menarik perhatianku sejak pertamakali Aku berada di rumah ini.Aku menatap lekat perempuan cantik di dalam pigura tersebut, perempuan dengan mata seperti bintang. Entahlah, mungkin karena selama ini Aku tidak pernah mengenal sosok Ibu, jadi, begitu mataku melihat perempuan itu, rasanya hatiku sangat berbunga-bunga.
Perempuan itu seperti Malaikat, dengan senyum yang sangat lembut. Ia mengenakan gaun berwarna Merah Muda yang sangat anggun. Rambutnya hitam tergerai, dengan sebuah jepit berkilau di samping Kanan dahinya.
Siapa gerangan perempuan yang berdiri di samping Om Harris itu?
Istrinya kah?
Jika iya, dimana dia sekarang?Di rumah besar ini Om Haris memanh hanya tinggal seorang diri, itu yang kutahu. Dan ada Tiga orang pembantu rumah tangga dengan tugasnya masing-masing.
Aku dan Om Haris memang belum bercerita banyak hal tentang keluarga Om Haris. Meski banyak sekali hal yang ingin kutanyakan padanya, termasuk soal hubungan Om Harris dengan Bapak.
Lalu, mataku beralih pada seorang pria yang berdiri di samping perempuan sebelah yang lainnya.
Tampan...
Sangat tampan.
Pria tersebut mengenakan Jas dengan warna yang senada dengan Om Harris. Kupikir, Mereka Kakak Beradik.
Senyumku tiba-tiba saja mengembang, Aku tidak mengerti kenapa. Yang jelas, melihat foto tersebut beberapakali, selalu memberi sensasi yang berbeda dalam dadaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjalanan Pebi
Mystery / Thriller** Mereka menyebutku aneh, mereka memanggilku Idiot, mereka menutup hidung ketika aku lewat, mereka mengangkat sebelah bibir ketika Aku berbicara. Aku, di mata mereka tak ubahnya sebuah barang rongsok yang tidak berguna. Aku, Pebi...