Kami tiba di perbatasan antara hutan larangan dengan Desa sebelah ketika burung-burung mulai keluar dari sangkar. Matahari belum menunjukkan sinarnya, sebab kabut masih terlalu tebal menyelimuti perbatasan.
Aku menghela napas panjang, kemudian membawa Kiki untuk duduk sejenak di atas rerumputan hijau yang basah.
Kami terdiam lama sekali, dan Aku hanya berharap, tidak satupun warga Desa sebelah mengenali Kami.
"Kak, Aku lapar..." suara Kiki membuyarkan lamunanku.
Aku baru sadar, sejak semalam Kami memang belum makan apapun."Sebentar lagi ya Ki, Kita beli gorengan di warung depan," jawabku. Kiki mengangguk lemah. Kurapikan anak rambut didahinya, lalu kubersihkan wajahnya.
Kutatap wajah gadis kecil itu dalam-dalam, entahlah... Aku hanya ingin memberi keyakinan pada Kiki melalui tatapanku, bahwa semua... Akan baik-baik saja.
Beberapa saat kemudian Aku berdiri, meregangkan otot-otot ditubuhku yang terasa kaku. Setelah kuhirup udara pagi dalam-dalam dan menghempaskannya perlahan, Aku mengajak gadis kecil itu berpindah duduk ke bawah pohon besar tak jauh dari tempat duduk Kami saat ini.
Kiki meliarkan pandangan, kemudian mengernyit.
"Disini nggak ada warung," ujarnya pelan. Aku tersenyum, nampaknya hobi 'diam' ku sudah mulai harus ku akhiri.
"Sabar ya..." bisikku.Aku membuka tas ku, kemudian mengambil kaleng susu yang semalam tak lupa kubawa. Kiki memperhatikan apa yang kulakukan, sambil memeluk kedua lutut.
Aku tertegun cukup lama, menatap kain hitam yang berisi buku pemberian Bapak semalam.
"Itu apa?" tanya Kiki. Sambil menunjuk kaleng susu ditanganku.
Aku tersenyum padanya, kemudian mengguncangkan isi kaleng tersebut.
"Celengan?!" seru Kiki dengan mata berbinar
Aku mengangguk dan tersenyum. Kemudian mencari sesuatu untuk membuka kaleng tersebut.
Cukup susah, tapi tak lama sebuah paku yang kutemukan di jalan besar itu, bisa membuka kaleng tersebut.Aku dan Kiki mulai menghitung uang di dalamnya.
Uang-uang itu kudapat dari uang jajan yang diberikan Bapak.Engahlah, Aku hanya sengaja mengumpulkan uang jajanku, untuk suatu saat nanti, suatu hari nanti Aku pergi ke Kota, dan membeli beberapa Novel yang Aku sukai.
Aku merenung sejenak, sambil memperhatikan tangan kecil Kiki yang sibuk menghitung koin.
Kenapa semua serba kebetulan? Apakah sesungguhnya tidak ada kebetulan, di dunia ini?
Aku mengumpulkan uang jajan untuk pergi ke kota. Dan tidak sedikitpun berpikir akan kugunakan untuk perjalanan ini.
"Delapan Puluh Ribu ..." pekik Kiki membuyarkan lamunanku.
Aku tersenyum padanya. Lumayan, cukup untuk membeli makanan beberapa hari ke depan.
*
Perut Kami sudah terisi makanan. Meski hanya beberapa potong gorengan dan segelas air teh hangat, tapi itu cukup membuat Kami terasa jauh lebih segar.
Penjaga warung sempat menanyaiku dari mana, mau kemana dan sedang apa di Desa ini. Aku tak menjawab apapun, sebab Aku harus menjaga kerahasiaan Kami.Aku menyeret tangan Kiki, ketika beberapa pria yang sedang mengopi membicarakan soal tragedi semalam di Desa sebelah. Desa ku, rumahmu, Bapak dan Emi.
Aku tak ingin Kiki mendengar lebih jauh lagi, untuk itulah Aku memutuskan untuk membungkus gorengan yang sedang Kami santap.
Dan kini, Aku dan Kiki sedang berada di pinggir jalan. Aku akan menyetop kendaraan apapun, yang akan membawa Kami entah kemanapun itu. Yang penting, jauh dari Desa dengan warga terkutuk itu!
*
Sebuah mobil bak pengangkut sayuran berhenti, ketika Aku dengan pasti tanpa ragu menyetopnya.
Sopir menjulurkan kepala kuar jendela dan menatapku."Boleh menumpang, Pak?" tanyaku dengan sopan.
"Mau kemana kalian? Kami akan ke Kota!" seru sopir.
Aku mengangguk. Kemanapun, terserahlah."Boleh, tapi dibelakang. Di depan sudah penuh!" jawabnya.
Aku mengangguk senang. Kemudian tersenyum dan mengucapkan terimakasih.Tak apa, dimanapun bukan masalah bagiku, yang penting Kami bisa menumpang, entah kemana nanti mobil ini akan membawa Kami.
Aku membantu Kiki menaiki bak mobil, disusul olehku. Kemudian mobil pun melaju, setelah sopir menatap kami melalui kaca spion.
Mobil bak itu merangkak pelan, meninggalkan Desa, meninggalkan kenangan perih serta dendam yang akan kubawa hingga Aku mati.
*
Kiki kembali tertidur, dengan tubuh meringkuk di antara tumpukan karung berisi sayuran. Aku menyelimuti tubuhnya dengan kain sarung satu-satunya yang kubawa.
Perjalanan ke Kota mungkin akan memakan waktu sekitar tiga jam. Aku, mencoba merebahkan tubuhku tak jauh dari Kiki. Mungkin Aku harus tidur juga, agar nanti begitu tiba di Kota, Aku bisa berpikir harus bagaimana, kemana, melakukan apa.
Tapi berkali kucoba memejamkan mata, tak juga berhasil. Semakin kucoba, kepalaku semakin berdenyut.
Diantara pepohonan sepanjang jalan yang Kami lalui, kuhela napas dalam-dalam. Akan kubuang segala hal buruk yang menimpa Kami disini, meski sumpahku, tidak akan pernah kuingkari. Untuk menebus segala terhadap warga Desa.
Nyawa harus dibayar dengan nyawa...
*
Aku tersadar dari segala macam pikiran, dan Aku kembali teringat akan kain hitam berisi buku yang diberikan oleh Bapak.
Kemudian Aku urung untuk meluruskan punggung di atas tumpukan karung.
Kubuka tasku, dan kutemukan kain hitam tersebut, dan membuka ikatannya.Aku menemukan sebuah buku tebal, berisi banyaj sekali tulisan tentang ramuan-ramuan, yang ditulis dengan tangan Bapak.
Di dalam buju tersebut juga kutemukan banyak sekali rumus-rumus. Seperti rumus fisika atau matematika yang sangat rumit.Aku tertegun cukup lama. Aku tidak mengerti tentang apa yang ditulis di dalam buku tersebut, terlebih tulisan-tulisan yang Bapak tulis. Karena sepertinya, itu bukan Bahasa Indonesia.
Kalau tidak salah, seperti istilah-istilah obat-obatan yang pernah kubaca di perpustakaan sekolah. Yakni, Etnobotani. Sebuah Ilmu yang mempelajari hubungan antara Manusia dengan tumbuh-tumbuhan.
Rumusan, obat-obatan... Apakah ada kaitannya dengan dukun santet?
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjalanan Pebi
Mystery / Thriller** Mereka menyebutku aneh, mereka memanggilku Idiot, mereka menutup hidung ketika aku lewat, mereka mengangkat sebelah bibir ketika Aku berbicara. Aku, di mata mereka tak ubahnya sebuah barang rongsok yang tidak berguna. Aku, Pebi...