Tragedi

531 54 2
                                    

"BAKAR BAKAR!!"

"BUNUH!"

"HABISI DUKUN ITU!"

"JANGAN BIARKAN KAMPUNG KOTOR!"

"BAKAAAAR!"

Aku terjaga dari tidurku yang sebenarnya tidak pernah benar-benar lelap, ketika mendengar suara-suara berteriak dan saling bersahutan di luar sana.
Aku mencoba mengintip melalui celah gorden, dan tubuhku spontan mundur dengan kedua tangan membekap mulutku sendiri.

Di luar sana, puluhan obor terlihat berbaris, api nya bergoyang diterpa angin malam. Dan iring-iringan manusia itu berjalan menuju... Rumah Kami!

*

Aku berbalik secepat kilat, kemudian berlari keluar kamar. Aku melihat Kiki menangis sambil memeluk lutut di samping lemari, sementara Emi memapah tubuh ringkih Bapak.

"Pak, ada apa?! Kenapa Mereka semua mendatangi Kita? Apa yang sebenarnya terjadi?!" teriakku. Diantara riuh suara manusia di luar sana.

Sementara rombongan orang yang sepertinya sudah dirasuki oleh kebencian, semakin terdengar mendekat.

"Pebi, pergilah! Bawa Kiki dan jaga Dia..." ujar Bapak dengan napas tersengal.

"Tidak Pak! Itu tidak mungkin! Kita akan pergi bersama-sama!" jawabku tegas.
Emi menggeleng.

"Aku akan membawa Bapak, Kamu pergi duluan dengan Kiki! Sekarang, Pebi ... Bawalah baju dan apa yang kalian perlukan. Cepaat!" seru Emi.
Aku masih berdiri mematung, sedangkan Kiki mencengkeram kuat ujung bajuku dengan air mata berurai.

Aku masih tertegun, entah apa yang sedang kupikirkan disaat situasi sudah begitu genting seperti ini.

PRAANGGG

Aku melompat, ketika sebuah batu besar menimpa satu-satunya kaca yang ada di rumah Kami.

"Pebi... Ikuti apa yang Emi katakan padamu. Bapak akan menyusul kalian..." ujar Bapak sekali lagi dengan tatapan tajam padaku.

"Hentikan! Kalian tidak boleh main hakim sendiri! Negara ini Negara hukum!" Aku dan Bapak saling pandang.

"Itu 'kan suara Ayahnya Via," gumam Kiki disela tangisnya. Kami semua mengangguk.

"Heh Pak Warsino, Kau ini orang baru di kampung ini! Kau tidak tahu apa-apa! Minggir!"

"Tenang... Tenang... Pak Warsini benar! Kalian jangan menghakimi sesuatu yang belum tentu kebenarannya!" itu suara Kakeknya Inoy.

"Kami semua sudah tahu, jika Kau salah satu bagian dari dukun itu! Minggir Mbah, atau Kau pun akan jadi bagian dari korban yang kami habisi!" teriakan warga semakin ricuh dari segala arah.

Aku masih bingung, dan sekali lagi Bapak memerintahkanku melalui tatapan matanya yang tajam.

Aku terpaku, namun memang tak ada pilihan lain. Akhirnya aku kembali ke kamar, mengambil tas sekolah dan memasukkan baju seadanya, serta... Kain hitam berisi buku yang diberikan Bapak beberapa jam yang lalu.

Aku kembali ke hadapan keluargaku, menatap satu persatu orang yang teramat kusayangi.
Aku meraih tangan Kiki, dan menggenggamnya erat-erat. Kemudian menatap sekilas wajah Emi dan Bapak. Keduanya tersenyum, lalu menganggukkan kepala secara bersamaan.

"Pebi, jaga Kiki dan bawa kemanapun Kau pergi..." kalimat terakhir Emi nyaris tak terdengar oleh telingaku, namun hanya samar, dan perkataan terakhirnya terasa membuat luka dihatiku terasa kian nyeri.

*

Aku keluar perlahan dari pintu belakang, dengan tangan kiri menggenggam erat pergelangan Kiki. Kiki masih menangis ketakutan, namun tangisnya ia tahan dengan telapak tangannya atas perintahku.

Kami melintasi kandang kambinh, kandang bebek, dan pancuran sebelum akhirnya Kami berdua tiba di kebun belakang.

Aku dan Kiki bersembunyi di balik semak, di belakang rumah, terhalang oleh barisan pohon jati.
Aku merengkuh Kiki ke dalam pelukanku, sambil dengan cemas aku menatap jauh pada kerumunan warga yang semakin liar dan brutal.

*

Di bawah remang cahaya obor dan lampu, Aku melihat Bapak diseret keluar oleh Puluhan warga.
Kutarik kepala Kiki, membenamkannya ke dada ku, agar Ia tak melihat pemandangan miris itu.

Mereka memukuli Bapak, melemparinya dengan batu dan apapun yang bisa dilempar.
Bersama dengan teriakan-teriakan yang membabi buta.
Aku masih mendengar, Mereka menyebut Bapak sebagai dukun santet.

Sementara itu Pak Warsino dan Kakeknya Inoy tidak bisa berbuat apa-apa. Keduanya berdiri mematung di ambang pintu dengan kesedihan yang mendalam.

Ibu Juwariyah yang datang secara tiba-tiba berteriak histeris, namun tidak satupun warga yang mempedulikannya.

Bu Juwariyah menangis dalam pelukan suaminya, hingga perempuan setengah baya itu jatuh pingsan.

Air mataku jatuh bercucuran, bersamaan dengan rubuhnya Bapak, yang dengan keji ditebas lehernya dengan sebuah celurit.
Namun ada sesuatu yang aneh yang kurasakan, Aku sama sekali tak mendengar sedikitpun suara Bapak. Entah itu mengerang, memohon ampun, atau memanggil siapa saja. Bapak tetap diam dalam pejamnya, hingga tubuhnya ambruk kemudian jatuh tertelungkup.

Darah bersimbah membasahi baju koko dan sarung yang dikenakan Bapak. Tubuhku bergetar hebat, kilat-kilat dimataku seolah saling memantul dengan api-api obot yang meliuk kian kemari.

Tak lama kemudian, mereka menyeret Emi keluar rumah, dalam keadaan bugil.
Mereka menghabisi Emi yang sudah tak sadarkan diri tanpa ampun, hingga tubuhnya rubuh menindih tubuh Bapak.

Aku benci warga Desa ini!
Dan Aku bersumpah, akan membalas semuanya!

Tak lama kemudian, Aku melihat api membumbung tinggi, meletup seakan menyambar langit gelap. Mereka dengan biadab membakar tempat tinggal Kami. Bersama Bapak, dan Emi...

"Kakak, api..." gumam Kiki.

Aku menatap wajah lugu Kiki, lalu kuhapus Air matanya. Ku peluk tubuh kecil itu erat sekali, dan Aku pun melihat kilat-kilat api dari bola mata Kiki.

"Dimana Ayah dan Ibu?" tanya Kiki. Aku diam, entah apa yang harus kukatakan padanya.

"Tenanglah, Bapak dan Ibu sudah berada di tempat yang indah dan damai..." jawabku dengan bibir bergetar.

"Kita akan menemui mereka?" tanya Kiki lagi. Aku mengangguk pasti, seiring dengan terdengarnya suara sirine dari kejauhan.

Pahlawan kesiangan...

Gigiku gemeretak, kedua tanganku mengepal dan tubuhku bergetar hebat.
Kulayangkan tinju tinggi-tinggi ke udara.

Aku bersumpah, Aku akan menuntut balas!

Perjalanan PebiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang