Sekolah

659 55 0
                                    

"Kiiii, kiki! Ayo pulang!" Aku berteriak di depan pagar rumah Via, dengan napas yang terasa semakin berat.

Bu Juwariyah ;ibunya Via menjulurkan kepala dari balik pintu, kemudian menatapku yang berada sekitar seratus meter dari pintu.

"Kiki sudah pulang, Pebi! Diantar sama Bapak tadi. Mungkin lewat jalan Selatan, karena Bapak mau mampir ke tukang Sate dulu!" seru Bu Juwariyah.

Aku mencoba tersenyum, meski demi apapun Aku sangat kesal mendengar Kiki sudah pulang.

"Ya sudah, terimakasih banyak Bu!" jawabku.

"Nggak mampir dulu, Peb?!" Bu Juwariyah berbasa-basi. Aku menggeleng cepat dan mencoba membalas senyumnya.

"Tidak Bu, sudah sore," jawabku.
Bu Juwariyah mengangguk dan tersenyum tanpa menjawab lagi, kemudian menutup kembali pintu rumahnya.

Bu Juwariyah dan suaminya adalah salah satu pasangan suami istri yang bersikap netral. Mungkin karena mereka orang terpelajar dengan wawasan luas. Mereka juga pindahan dari kota, sehingga tidak terpancing oleh isu-isu yang beredar di kampung soal Bapak. Terlebih karena mereka memang bekerja di kota, sehingga sedikit waktu bagi mereka untuk berkumpul dan bergosip dengan warga kampung.

Setidaknya Aku bersyukur akan hal itu, meski hanya segelintir orang yang peduli terhadap kami, tapi ada. Dan berharap suatu saat nanti mereka tidak terpengaruh, kasihan Kiki andai itu terjadi. Sudah barang tentu mereka akan melarang Via bermain dengan Kiki.

*

Aku tiba di rumah sesaat setelah suara Adzan berkumandang, dari Mushalla yang tak jauh dari rumah.
Kuparkirkan sepeda ontelku dekat tiang kayu di samping rumah yang tiangnya sudah keropos, kemudian menghampiri Bapak yang sedang memberi makan Kambing, sesaat sebelum Pria itu pergi ke Mushalla.

Bapak nampak rapi dan bersih, dengan baju koko, serta sarung yang dikenakannya, dan peci yang menutupi kepalanya.

Bagaimana mungkin Mereka menuduh Bapak penganut ilmu hitam, sementara yang Aku tahu, Bapak tidak pernah melewatkan Shalat Lima waktu. Bahkan setiap Maghrib, Isya dan Subuh Bapak selalu melaksanakan Shalat berjamaah di Mesjid. Mengikuti pengajian, atau mengobrol soal Agama dengan Kakeknya Inoy di serambi rumah.

"Assalamualaikum..." ujarku.
Bapak berdiri, kemudian berbalik padaku.

"Waallaikumsallam... Eh eh, ada apa? Kenapa wajahmu kusut sekali, Pebi?" tanya Bapak sambil menghampiriku.

Aku menggeleng dan membalas senyumnya.

"Nggak ada apa-apa Pak," jawabku sambil mengelap peluh didahiku.

Beberapa saat kemudian Aku pamit untuk masuk ke dalam rumah setelah mencium punggung tangannya.

Sementara Aku mendengar Bapak terdengar menghela napas panjang sambil menatapku, kemudian berangkat menuju Mushalla karena waktu shalat sudah tiba.

*

Kiki sedang menikmati sepiring Sate saat Aku masuk ke dalam rumah. Sementara Emi, baru saja keluar dari dapur, membawa segelas air putih untuk Kiki.

"Lain kali jangan pulang dengan siapapun, Aku sudah menjemputmu dan Kamu sudah tidak ada," ujarku sembari meraih handuk yang tergantung pada sebuah paku di dinding bilik rumah Kami.

Kiki tidak menoleh padaku dan tidak menjawab, sebab mulutnya penuh.

"Sudahlah, salah sendiri Kamu menjemputnya kelamaan," jawab Emi.

Dengan tangan dan kepalanya ia menunjuk piring berisi Lima tusuk sate padaku.
Aku mengerang, benarkan, Aku lagi yang salah?

"Makan dulu," lanjutnya. Aku diam sesaat kemudian mengangguk.

Kami duduk melingkar, mengitari sebuah meja kayu. Emi duduk di hadapan Kami, kemudian menatap kami secara bergantian, membuatku mengernyit.

"Kalian Kakak Adik. Aku harap kalian bisa saling menjaga hingga dewasa nanti...

"Meskipun kalian terlahir dari rahim yang berbeda, itu bukan alasan bagi kalian untuk tidak saling menyayangi," ujar Emi tanpa ekspresi, seperti biasa. lalu mengelap bumbu sate di bibir Kiki dengan lap.

Emi memang seperti itu, jarang sekali tersenyum dan ekspresi wajahnya sangat kaku. Sehingga jika mengenalnya secara sekilas saja, Emi terlihat seperti seseorang yang tidak baik.

Aku mengkerutkan kedua alis, tumben sekali Emi berkata seperti itu. Aku tahu Emi menyayangiku, meskipun terkadang suaranya kencang seperti membentak, atau suka sekali menyuruhku ini dan itu.

"Tentu saja, kita kan saudara. Iya 'kan Kak?" timpal Kiki.

Aku mengangguk tanpa menjawab. Entahlah, sepertinya 'tidak suka berbicara' adalah hobiku.
Jika tidak ada sesuatu yang benar penting atau memang tidak harus ditanyakan, Aku tidak akan melakukannya. Aku hanya sering menggunakan bahasa tubuh sebagai jawaban, atau kadang pertanyaan.

Ya, harus diakui bahwa keluarga kami memang aneh. Aneh, tapi sungguh bukan jahat!

Emi tersenyum, dan sekali lagi menatap kami secara bergantian.

Aku melahap makananku, dalam diam. Hanya mendengar ocehan Kiki tentang apa yang dilakukannya hari itu.
Kiki juga bilang, kalau Bapaknya Via baik sekali padanya. Aku tahu itu, sebab Kiki sering pulang tanpa tangan kosong. Selalu saja ada yang dibawanya pulang, apa saja.

*

Sekolah

Seperti biasa setiap pagi di hari sekolah, Aku mengantar Kiki terlebih dulu ke sekolahnya, dan memastikan jika Kiki sudah masuk ke dalam kelas dan bertemu dengan teman-temannya, sebelum Aku berangkat ke sekolahku sendiri.

Sekolah adalah satu-satunya hal yang paling Aku sukai. Dimana Aku bisa santai tanpa mendengar omelan Emi, atau suara musik dangdut yang berhenti hanya jika waktunya Adzan, atau suruhan-suruhan Emi yang kadang membuatku bosan.

Yaa meski sebenarnya, Aku tidak pernah bisa sesantai itu.
Karena setiap kali, dan dimanapun Aku berada, disanalah selalu ada orang-orang iseng yang senang melampiaskan kekesalannya kepadaku.

Itulah mengapa Aku lebih senang menghabiskan waktuku di Perpustakaan. Membaca banyak buku pelajaran, pengetahuan dan Novel.

Diam-diam Aku menyimpan sebuah cita-cita besar. Bahwa kelak, Aku ingin menjadi seorang penulis hebat. Tentu saja, hal itu hanya ada dalam hatiku, tidak pernah berani kusampaikan kepada siapapun. Sebab, Aku tahu hal itu hanya akan jadi bahan olok-olokan.

Perpustakaan sekolah adalah satu-satunya tempat yang paling bersahabat denganku.
Aku bisa menghabiskan seluruh waktu istirahatku hanya dengan berdiam diri di dalamnya, duduk di depan jendela besar, membaca buku sambil menatap jauh ke atas gunung yang tinggi menjulang, serta hamparan sawah yang mayoritas, adalah lahan rejeki warga Desa.

Khayalanku sering mengembara kemana-mana, hanya ketika Aku duduk disini, seperti saat ini.
Ini mungkin sebuah kekonyolan, Aku tidak pernah termasuk menjadi salah satu murid yang berprestasi di sekolah, terlebih menjadi salah satu kepengurusan dalam bidang apapun.

Orang-orang tidak pernah mempercayakan apapun padaku, tidak pernah!

Aku hanya sesosok tubuh yang duduk di dalam kelas, berada dibangku sebelah kiri paling belakang, sendirian.
Kehadiranku hanya akan terlihat saat guru kelas mengabsensi, setelah itu tak terlihat. Kehadiranku seolah tak kasat mata, dan Aku sudah terbiasa dengan hal itu.

Untuk itulah Aku berada disini, diperpustakaan dan seorang diri. Aku mengagumi banyak hal di luar sana. Monas, patung Liberty, menara eifel, atau hamparan bunga sakura di Jepang sana.

Dan Aku sering terkekeh sendiri membayangkan suatu saat Aku berada disana, konyol memang. Jangankan Negara lain, bahkan Ibukota sendiripun Aku tidak tahu dimana, maksudku, Aku belum pernah menyambanginya.

Perjalanan PebiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang