Rahasia

475 50 0
                                    

Sore itu, cuaca cukup cerah. Aku baru saja selesai mandi, dan Aku melihat Kiki di ruang keluarga sedang asyik menonton Tv, dengan salah satu pembantu rumah tangga Om Harris.

Aku melenggang melewati keduanya, bermaksud hendak duduk santai di taman, sekedar menghirup udara sore dan melihat-lihat aneka macam bunga yang tumbuh subur di taman samping rumah Om Harris.

Aku menghentikan langkah dengan cepat. Ketika melihat dari kejauhan, di dalam sebuah gazebo yang berada di samping rumah Om Haris, Aku melihat Om Harris sedang berbicara dengan seseorang.
Aku tidak mengenali orang tersebut. Tapi sepertinya orang tua itu usianya jauh lebih dewasa dari Om Haris.

Mereka sepertinya terlibat obrolan serius, Aku tak peduli akan hal itu. Om Harris memang sering mengundang teman bisnisnya ke rumah ini.
Kubalikkan tubuhku, kemudian melangkah untuk menemui Kiki, dan duduk di sampingnya. Sementara pembantu rumah tangga tidak kutemukan di sebelah Kiki.

"Kak, Aku rindu Ibu ..." Kiki tiba-tiba bergumam, dengan mata tetap tertuju pada televisi.

Aku mendekatkan tubuhku dengannya, kemudian merangkul pundaknya.
Aku tidak tahu harus berkata apa, mau berziarah pun, Aku tak tahu apakah jasad mereka dimakamkan atau mereka membiarkannya begitu saja.

"Sabar Ki, nanti setelah Kakak bekerja, Kita akan mencari kuburan Ibu dan Bapak," jawabku. Hanya itulah jawaban terbaik yang Aku miliki saat ini.

"Bekerja? Berapa tahun lagi? Kakak kan baru SMP kelas Dua," jawabnya sambil merengut.

Aku terkekeh, segala hal yang terjadi dalam hidupku selama ini, memang seakan memaksaku untuk menjadi perempuan dewasa sebelum waktunya.

Aku mengganti saluran tv, berusaha untuk mengalihkan kerinduan Kiki pada Emi.
Berhasil, Kiki larut dalam film kartun yang disuguhkan televisi, sementara Aku menatap kosong pada layar kaca.

*

"Febi, kemarilah ..." Aku mengangkat wajah dari buku yang sedang kubaca, kemudian mengernyit.

Om Haris sudah berdiri di sampingku, wajahnya terlihat sedikit gelisah.

"Iya Om, ada apa?" tanyaku, lalu menutup buku yang sedang kubaca, kemudian berdiri.

"Ikut Aku. Ada hal yang ingin kubicarakan denganmu..." jawabnya singkat.

Aku mengangguk. Kemudian mengikuti langkahnya, menuruni anak tangga dalam diam.

Kami melewati ruang keluarga, dan menuju sebuah ruangan yang selama ini kupikir hanya sebuah gudang, sebab letaknya berada di paling ujung ruangan.
Prasangka-rasangka buruk tiba-tiba saja tumbuh di dalam hatiku.
Jangan-jangan ...
Om Haris akan mengusirku dan Kiki.

*

Kami tiba di ruangan tersebut. Aku termangu di ambang pintu, sebelum Om Haris akhirnya membuyarkan diamku dengan menyuruhku masuk.

Aku melangkah perlahan, memasuki ruangan tersebut yang sangat besar. Jauh lebih besar dari apa yang kubayangkan.

Sepasang sofa berwarna Coklat tua berada disana. Lagi-lagi, di dalam ruangan tersebut mataku kembali tertuju pada sebuah pigura besar. Foto perempuan itu, kembali menarik perhatianku.
Padahal, disana ada banyak pigura besar terpampang, tapi entah kenapa mataku seakan hanya tertarik pada pigura yang satu itu.

Dalam foto tersebut sedikit berbeda. Sebab, Aku melihat perempuan itu sedang menggendong seorang bayi. Sedangkan suaminya, berada di samping perempuan sambil mengecup pipi bayi tersebut.
Sementara, di samping mereka, berdiri seorang perempuan separuh baya, dan Om Haris...

Tiba-tiba saja darahku berdesir, mungkin karena dorongan betapa rindunya Aku, pada sosok seorang Ibu.
Namun, sekali lagi Aku tertegun. Bukan itu yang membuat ja tungku seakan berhenti berdetak. Tapi ketika mataku tertuju pada sebuah kalung yang dikenakan Bayi tersebut.

Kalung itu ...

Perjalanan PebiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang