Malam yang sunyi, hanya suara jangkrik dan sesekali suara motor yang terdengar melintasi jalan raya berlubang di Desa ini.
Aku, Inoy dan Kakek sedang duduk melingkar di atas tikar lusuh, di dalam rumah Mereka.
Air teh panas mengepul dalam ceret, sepiring pisang goreng, serta singkong goreng menjadi pelengkap sebagai penghilang dingin yang menyelusup melalui bilik-bilik bambu dinding rumah mereka.Aku merindukan suasana seperti ini, berkali-kali kedua mataku memanas ketika Aku menghirup aroma teh tubruk dalam cangkirku. Inoy berkali-kali mengusap bahuku tanpa kata, sebab ia paham apa yang kurasakan.
*
Aku menceritakan semua tujuanku datang ke Desa ini, termasuk dendam yang kubawa serta kupikul selama Empat tahun lamanya. Pun tak lupa, Aku menceritakan bagaimana mulanya Aku dan Kiki melarikan diri malam itu, dimana kami bermalam, hingga saat ini.
Mereka khusyu mendengarkan ceritaku, sambil sesekali menyeruput teh hangat, dan mengunyah potongan singkong.
"Jadi, Kamu sebenarnya anak orang kaya?" tanya Inoy seraya berdecak.
Aku tersenyum, wajar saja jika mereka tidak percaya. Jangankan mereka, bahkan hingga detik inipun, Aku sendiri tidak percaya bagaimana Tuhan membawaku pada takdir yang sesungguhnya.
*
"Pebi, Kau tidak perlu melaksanakan niatmu itu Nak," ucapan Kakek terhenti sejenak.
"Selain karena balas dendam itu perbuatan tidak baik dan terkutuk, Mereka semua yang menghakimi Bapak dan Ibu tirimu sudah mendapat hukuman yang setimpal. Buang jauh rasa dendam, itu tidak baik untuk dirimu," lanjut Kakek.
Aku mengernyit.
"Hukuman? Maksud Mbah? Apakah arwah Bapak membunuh mereka semua?" tanyaku tidak sabar.
Bapak dan Inoy terkekeh mendengar pertanyaanku, sekaligus membuat Aku semakin dilanda penasaran.
"Memang, tidak dapat dipungkiri jika seseorang yang mati dalam keadaan tidak wajar, pasti akan selalu ada cerita mistis setelah itu. Seperti warga yang sering mendengar suara tangisan, atau melihat api menyala di lahan kosong bekas rumah Kalian, dan hal menakutkan lainnya...
"Tapi... Hukuman Mereka bukan disebabkan oleh arwah Bapakmu yang menuntut balas," Kakek kembali menghentikan ucapannya. Dan Aku, harus cukup puas dengan menahan napas.
"Seseorang datang ke Kampung ini, Satu bulan setelah kejadian itu. Dia membawa Polisi dan pengacara dari Kota. Si Mbah sendiri tidak mengenali pria itu. Tapi... Dengar-dengar namanya Haris. Dan sepertinya... Bapak tidak asing dengan nama itu,"
Kedua mataku membulat mendengar nama Om Harris disebut. Tak salah lagi, pasti Om Harris!
"Ah maklum sudah tua, kadang melihat siapa, seperti pernah melihat, mendengar apa, seperti pernah mendengar, hehehe ..." jelas Kakek sambil tertawa, kemudian terbatuk-batuk.
Aku tertegun.
Om Haris? Ya Aku semakin yakin jika yang Kakek maksud itu adalah pasti Om Haris!
Tidak ada Haris lain dalam kehidupan Aku dan Bapak.*
Malam sudah teramat larut. Kakek meminta agar Aku istirahat, dan melanjutkan obrolan panjang ini esok hari.
Kakek sudah pergi ke kamarnya, sedangkan Aku dan Inoy masih saja saling bercerita sambil merebahkan tubuh di kamar Inoy. Tentang masa lalu Kami, dimana Kami sering menangis bersama, ketika Satu diantara Kami ada yang mengejek.
Malam kian larut, dan Kami seolah tidak kehabisan cerita. Kami tidak bercerita soal peristiwa malam itu, biarlah, untuk saat ini Kami hanya ingin mengenang masa kecil Kami yang tidak diliputi oleh dendam.
Beberapa lama kemudian, Aku mendengar suara dengkur halus Inoy, gadis itu nampak kelelahan. Sementara Aku masih terjaga, menatap sekeliling kamar Inoy yang tidak jauh berbeda dengan kamarku dulu.
Diam-diam Aku berjanji dalam hati, nanti setelah semua urusanku selesai, Aku akan membangunkan sebuah rumah untuk Mereka, disini.
Dan mewujudkan impian si Mbah yang seorang tersebut, untuk membangun sebuah Pesantren.Aku tersenyum, kemudian rasa kantuk mulai kurasakan, ketika kulirik jam dalam gawai ku, menunjukkan pukul Dua dinihari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjalanan Pebi
Misterio / Suspenso** Mereka menyebutku aneh, mereka memanggilku Idiot, mereka menutup hidung ketika aku lewat, mereka mengangkat sebelah bibir ketika Aku berbicara. Aku, di mata mereka tak ubahnya sebuah barang rongsok yang tidak berguna. Aku, Pebi...