"Ehm..." dehaman Om Haris membuyarkan lamunanku. Aku berbalik, kemudian berdiri salah tingkah.
"Aku... Aku hanya sedang melihat foto itu," ujarku, sembari mengangkat dagu pada pigura besar di belakangku.
Haris tersenyum, lalu merangkul pundakku."Dia Adikku dan Adik Iparku..." ujarnya sembari menunjuk foto perempuan, lalu pada pria tampan yang membuatku tersenyum ketika melihatnya tadi.
Aku mengangguk-anggukan kepala. Saat Om Harris menggiringku, mendekati pigura tersebut dan menunjuk dengan telunjuknya.
"Ohh pantas saja, cantik ya..." gumamku seraya tersenyum, sungguh, itu tulus keluar dari dalam hatiku.
Aku mendengar Om Haris mengembuskan napas panjang. Kemudian pria itu tersenyum dan mengangguk.
"Tentu saja. Dia sangat cantik, Nilla adalah perempuan yang manis, sama sepertimu..." jawabnya sembari mengedipkan mata.
Aku terkekeh. Seumur hidupku, baru Dua pria yang memuji dan mengatakan jika Aku cantik dan juga manis.
Mereka adalah Bapak, dan Om Haris."Kenapa tertawa? Kau memang manis dan cantik, seperti Nilla," ujarnya lagi.
Tawaku reda, kemudian menunduk dengan wajah merona malu.
"Dimana dia sekarang, Om? Aku ingin sekali bertemu dengannya..." lanjutku.
Om Harris mengembuskan napas kembali.
"Mereka sudah meninggal dunia..." jawabnya, seraya meremas pundakku, entah mengapa.
"Ma... Maafkan Aku. Aku... Aku tidak bermaksud mengingatkan Om pada..."
"Sstttt... Tak apa, tak apa, bukan salahmu. Bukankah takdir memang seperti itu? Ah sudahlah, Kau memang tidak tahu apa-apa, Febi...
"Oh ya, kenapa Kita jadi berlama-lama disini. Ayo, Adikmu sudah menunggu untuk makan siang." potong Om Haris sembari menggandeng lenganku.
Aku mengangguk, Aku mengerti bahwa tidak mudah menceritakan sesuatu atau seseorang yang telah pergi untuk selamanya.
Kami berjalan berdampingan. Entahlah, Aku merasa nyaman dan tenang berada dekat Om Haris, seperti ada sesuatu. Tapi... Mungkin ini hanya karena Aku baru saja kehilangan sosok Bapak.
Yang jelas, Aku memang merasakan Om Harris begitu baik kepadaku, pada Kiki.*
Malam ini Kiki sudah tertidur lelap, sedangkan Aku masih saja gelisah dan merasa tidak ngantuk sedikitpun. Aku menatap keluar jendela, kembali menatap bulan yang biasanya selalu mampu membuatku merasa damai dan tenang.
Tapi malam ini terasa ada yang berbeda, Aku merindukan sesuatu yang lebih. Sesuatu yang lebih mampu membuatku tenang selain bulan dan bintang. Ada sesuatu hasrat di dalam dadaku, yang membawa pikiranku pada sesuatu hal.Perlahan, Aku turun dari tempat tidurku, agar tidak membuat Kiki terbangun akibat gerakan tubuhku. Lalu Aku menyelimuti tubuhnya, dan beranjak keluar dari kamar.
Aku menatap berkeliling, sepi. Mungkin Om Harris sudah tidur, dan para pembantu rumah tangga pun sepertinya sudah lelap. Kecuali para sekuriti yang sedang bermain catur di pos penjagaan.Aku kemudian menuruni anak tangga. Entah apa yang membawaku, tiba-tiba saja Aku sudah berada disini. Di depan pigura besar itu, dan menatap lagi wajah perempuan itu.
Hey, ada apa denganku?!
Mengapa Aku selalu merasa tenang jika melihat perempuan itu?
Matanya, senyumnya, Ibu...Seandainya perempuan itu adalah Ibuku. Tapi... Tentu saja bukan!
Ibu sudah meninggal karenaku, karena melahirkan Aku!
Ya, Aku yang sudah menyebabkan Ibu meninggal dunia!
Aku memang Anak yang tidak berguna, Anak pembawa sial!Aku mundur, kepalaku terasa sakit sekali. Air mataku tiba-tiba saja turun dengan derasnya, entah apa alasannya.
Aku kini meringkuk di sofa, menatap pigura besar itu dalam remang cahaya lampu yang dimatikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjalanan Pebi
Mystery / Thriller** Mereka menyebutku aneh, mereka memanggilku Idiot, mereka menutup hidung ketika aku lewat, mereka mengangkat sebelah bibir ketika Aku berbicara. Aku, di mata mereka tak ubahnya sebuah barang rongsok yang tidak berguna. Aku, Pebi...