Renungan Diri

472 46 0
                                    

Aku masih mengurung diri di dalam kamar. Setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Bi Darmi, sepertinya sakit kepalaku kambuh, dan itu jauh lebih menyakitkan dari biasanya.

Bagaimana bisa kenyataan begitu membingungkan.
Oh Tuhan...
Bapak, Kini Aku tidak tahu perasaan apa yang ada dalam hatiku?
Haruskah Aku mengurungkan niatku untuk membalas dendam kepada warga Desa?
Bukankah Bapak ternyata bukan Bapak kandungku?!

Tidak tidak!

Aku tidak mungkin hidup dan tumbuh menjadi seperti ini jika bukan karena Bapak! Aku berhutang budi dan nyawa kepada Bapak. Aku tetap harus membalaskan dendamku kepada Mereka, yang bertindak begitu keji terhadap keluargaku.

*

Sekolah seakan sudah tidak lagi menjadi prioritasku saat ini, semenjak kepergian Om Harris. Aku lebih senang mengurung diri di dalam kamar, dan merenungi banyak hal.

Sedangkan Kiki masih dan memang harus sekolah, Aku hanya meminta Pak Ujang atau Mang Darma yang mengantar dan menjemputnya. Kiki sudah tumbuh menjadi anak yang periang, walau sesekali sering kulihat dia termenung di beberapa kesempatan.

Aku masih berada disini, di dalam kamar besarku, sendirian. Aku menatap foto Ibu, yang sengaja kupindahkan ke dalam kamar, agar Aku bisa memandangnya setiap waktu.

Kualihkan tatapanku pada cermin. Aku tatap wajahku dadalm-dalam di cermin, dan mataku kembali menatap foto Ibu dan Ayah.
Aku terlihat mirip dengan Ayah, namun memiliki bentuk wajah yang seperti milik Ibu.

Aku tak percaya semua ini.

Bayangan Ibu kini bukan hanya hasil imajinasiku sendiri. Namun, kini Aku dapat mengusap wajah cantik itu dengan ujung jariku.

Ah Ibu, Aku ingin memelukmu...

Wajahku memang tidak terlalu buruk, hal itu sudah kusadari sejak lama. Ya setidaknya, Aku mewarisi wajah tampan Ayah.

Aku mengembuskan napas panjang,
ingatanku kembali melayang pada warga Desa. Geram rasanya, mengingat perlakuan Mereka kepadaku.
Yang ketika melihatku, seakan-akan melihat tumpukan sampah!
Karena kata mereka, badanku bau Kambing. Mungkin benar, karena setiap hari Aku memberi makan ternak peliharaan Bapak.

Aku kini memiliki segalanya. Rumah yang sedari kecil kuimpikan kini sedang kutinggali. Mobil mewah, pembantu rumah tangga, bahkan perusahaan-perusahaan yang kelak akan menjadi satu-satunya milikku. Tapi apa arti dari semua itu?
Aku tidak mempunyai siapapun kecuali Kiki.

Dulu, Aku bercita-cita untuk membahagiakan Bapak, menyenangkan masa tuanya. Tapi sekarang semua ini seakan tidak berarti apa-apa, Aku tidak bahagia...

Perjalanan PebiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang