Abu-Abu dan Biru

4.4K 286 82
                                        

Aku menginjakkan kakiku di jalanan aspal sebuah universitas ternama di Jakarta. Kakiku melangkah sedikit demi sedikit mengikuti ke mana arah orang-orang lain yang menggunakan pakaian yang sama denganku. Kuhentikan kakiku saat kulihat banyak orang sedang berbaris di lapangan yang besar. Aku pun berjalan masuk di kerumunan orang dan masuk ke sebuah barisan yang berada di sudut lapangan. Aku berdiri di saf paling akhir. Di dalam hati aku berdoa, semoga hariku ini baik-baik saja.

Jantungku berdegup kencang saat melihat lautan manusia di hadapaku. Aku tidak pernah melihat ini. Biasanya, kalau aku keluar rumah, aku hanya pergi ke mal. Walaupun mal tempat orang banyak, tapi tidak sebanyak ini. Mulutku terus berkomat-kamit memohon agar hariku menyenangkan. Atau paling tidak, aku dikirimkan seorang teman yang sering beradaptasi dengan lingkungan seperti ini.

Sebuah kilasan menganggu pandanganku saat ini. Aku melihat akan ada kejadian baik di pagi ini. Tuhan mengabulkan doaku. Seorang perempuan yang tinggi tak jauh dariku berdiri tepat di sampingku. Aku meliriknya sekilas. Dan seketika, aku tahu segalanya. Namanya Maudy Ayundia Lubis. Seorang anak artis yang sangat ramah. Dialah yang akan menjadi temanku. Bagaimana aku bisa tahu? Ah, ya! Kalian hanya baru mengenal namaku dan pekerjaan kedua orang tuaku. Tunggulah sejenak, aku akan bercerita sedikit demi sedikit.

Sebuah kilasan lain mampir di pandanganku. Ada kebencian yang membuat aku kesal sendiri. Aku belum bisa memecahnya sampai saat ini. Entah kenapa, jika berurusan dengan kehidupanku, kilasan itu akan tiba beberapa detik sebelum kejadian itu tiba untukku. Seorang senior tak sengaja menyenggol lengan Maudy sehingga perempuan di sampingku ini terhuyung ke arahku. Dengan sigap aku membantunya berdiri agar ia tidak jatuh. Senior itu langsung pergi tanpa meminta maaf. Aku membantu Maudy berdiri dengan tegap dan mulailah suara Maudy terdengar.

“Makasih banyak ya lo sudah nolong gue. Siapa sih yang nyenggol gue?” tanyanya yang celingak-celinguk mencari siapa yang telah menyenggolnya.

Aku menganggukkan kepalaku dengan tambahan senyum yang ikhlas. Lalu aku mendekat ke arahnya dan berbisik, “Yang senggol lo itu cewek yang di depan sana dekat dengan barisan depan kita.”

“Ada dua orang. Yang mana?” tanya Maudy yang ikut berbisik.

“Rambut hitam pekat kuncir dua.”

Maudy hanya meng-oh saja tanpa kemarahan yang terlihat walaupun tadinya ia sempat mau marah. “Eh, makasih banyak, ya. Gue, Maudy. Lo?” tanyanya setelah memperkenalkan dirinya dan ia mengulur tangannya. Ah, tanpa kamu sebut namamu, aku sudah tahu. Tapi, untuk awal kenal, aku ingin diam dulu dan menutup diriku. Aku tidak mau kejadian enam tahun yang lalu terulang lagi.

Aku langsung menyambut uluran tangan itu. “Zenia,” sahutku dengan menyebut namaku.

“Lo, jurusan apa?”

“Pendidikan Kedokteran.”

Begitu aku menjawab pertanyaan itu, sebuah kilasan kembali menganggu pandanganku. Tidak usah kujelaskan sekarang apa yang kulihat. Karena sekarang, dari Maudylah jawabannya.

“Wah … kok bisa sama, ya?”

Itulah jawaban dari kilasanku. Dan kilasan tambahannya adalah, ialah orang yang kucari-cari. Di rumah pun, aku sudah mengharapkan kehadirannya. Setelah bercengkrama kecil, kami semua memilih diam dan fokus pada acara pembukaan OSPEK hari ini. Hingga menjelang siang, kami dibagi berkelompok dengan sesuai fakultas. Lalu kami digiring ke sebuah gedung yang besar dan jauh dari gedung utama univesitas. Letaknya selang empat gedung besar dari gedung utama. Di pagar gedung ini tertulis sebuah kalimat “Gedung D. Fakultas Kedokteran”.

Zenia [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang