Telah Kusampaikan Maafnya

1.7K 111 0
                                    

Ingin aku tenggelamkan wajah malu ini dari muka bumi ini. Aku bangkit dari dudukku dan menjauh dari Faeyza yang menatap heran padaku. Aku ingin ke kamar mandi dan menghilangkan rasa maluku. Tapi, langkahan kaki ini berhenti tepat di depan lorong dapur dan aku sedikit memekik dengan kedatangannya yang tiba-tiba sekali.

“Kenapa kamu terus mendekatinya?!”

Suara bentakan itu membuat aku semakin mematung. Kenapa dia bisa hadir kembali dan kini ia menampakkan wujudnya di sini bukan di kampus? Dan matanya yang menyala menatapku dengan penuh kedendaman. Aku menghirup udara dan menghelanya dengan pelan. Mencoba menenangkan degupan jantung karena terkejut dan kembali melanjutkan langkahan kaki memasuki dapur. Tapi, aku tidak jadi menjalankan niatku ke kamar mandi karena rasa maluku sudah hilang akibat terkejut kedatangannya. Jadinya, aku meraih gelas untuk minum berharap detakan jantungku kembali netral.

“Berapa kali aku harus katakan kalau kamu harus menjauhinya! Dia hanya milikku seorang!”

Aku tidak menghiraukan perkataan itu. Dengan air yang masih terisi di gelas, aku membawanya kembali ke ruang Tv dan duduk di dekat Faeyza kembali.

“Jauhkan dia, Faeyza! Kamu hanya milikku!”

Kini, suara arwah itu menggema sangat keras karena ia berteriak. Aku yang baru saja duduk tenang habis meletakkan gelas menjadi terkejut dan keringat dingin menghampiri diriku. Suaranya yang menggelegar itu berhasil membuatku duduk kaku nan tegang.

“Kamu kenapa, Ze?” tanya Faeyza yang sepertinya menyadari perubahan sikapku. Aku membalasnya dengan gelengan kepala yang amat lambat. Faeyza meraih daguku menuntunnya untuk melihat ke arahnya. Terlihat wajah Faeyza sangat khawatir melihat ke arahku. “Kamu kenapa? Kok pucat banget?” tanyanya yang mengelap peluh dingin di keningku. Lagi-lagi aku menggeleng lambat.

“Jangan sentuh dia, Jalang!”

Aku yang kembali terkejut dengan spontannya memeluk Faeyza menenggelamkan wajahku di dadanya dan menutup telingaku dengan kedua tanganku. “Bunda! Ze takut!” bisikku dengan suara yang amat bergetar.

“Kamu kenapa, Ze?” tanya Faeyza lagi yang kini suara khawatirnya sangat jelas terdengar di telingaku.

“Sudah kukatakan jangan pernah ganggu hidup mereka lagi! Sepertinya kamu belum jera, ya!”

Suara amukan Bunda terdengar yang aku sendiri tidak tahu di mana wujudnya berada. Aku memejamkan mataku dan semakin mengeratkan pelukanku pada Faeyza. Bukan hanya itu, aku pun semakin menenggelamkan kepalaku di dadanya. Amukan Bunda sangat kutakuti. Aku bukan takut dirinya yang marah, melainkan jika ia marah berhasil membuat energiku terkuras habis. Dan aku takut energiku terkuras lagi dan mengulangi kejadian di ruang BEM kala itu. Apa lagi, Mama dan Papa sedang tidak di Indonesia. Aku takut mereka khawatir jika aku diantarkan ke rumah sakit nantinya kalau aku pingsan.

Ze! Are you okey?” tanya Faeyza yang terdengar sangat khawatir dan ia mengelus punggungku dengan sangat lembut. Aku membalasnya dengan anggukan kecil walaupun saat ini aku sedang sangat gusar.

“Lepaskan dia wanita, Jalang! Jangan suka sekali cari kesempatan. Dan Anda! Jangan ikut campur urusan kami!”

Sebuah hawa dingin bercampur dengan panas menghampiri diriku. Napasku tersedat dan tubuhku melemah. Ini pertanda Bunda sedang sangat marah dan dia mengambil kendali tubuhku sepenuhnya. Aku berusaha memeluk Faeyza semakin erat dan berdoa semoga ia tidak menyadari perubahan suhu tubuhku.

Zenia [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang