Kamulah yang Kubutuhkan

2K 142 2
                                    

“Kamu sudah merasa tenang?”

Suara yang sedari tadi tidak kudengar lagi menganggu lamunanku yang berkelana jauh tanpa hujung. Aku melirik pemilik suara itu sekilas dan menganggukkan kepalaku. Aku tidak bisa berbohong bahwa aku tidak tenang. Malah aku sangat tenang di sini walaupun hawa di luar dunia nyata ini sangat kental terasa. Namun, karena keindahan dan kesejukan yang berasal dari taman ini, aku sangat tenang berada di sini.

“Kamu ingin kita pulang?”

Pertanyaan itu membuatku teringat tujuan awal Faeyza mengajakku ke sini. Sepotong burger kesukaanku sudah habis termakan dan minuman soda pun tidak tersisa sedikit pun. Walaupun tidak terlalu kenyang, tapi keduanya berhasil membuat rasa laparku sedikit terusir. Aku menggeleng menjawab pertanyaan dari Faeyza. Walaupun aku tenang di tempat ini, tapi kegundahan hati belum bisa terhapuskan. Aku masih perlu teman bicara yang menghasilkan solusi.

Ah, ya! Di tempat ini sedari tadi aku tidak mendapat kilasan apa pun. Itu membuatku sedikit tenang karena tidak dikebut oleh bayangan kilasan. Namun, aku masih berharap sebuah kilasan tentangku dan Faeyza datang agar aku tahu apa yang harus kulakukan. Tapi, lagi-lagi itu hanya inginan yang tidak juga terwujud.

“Kenapa tidak? Bukannya kamu sudah tenang?”

“Pikiranku memang tenang, Kak. Tapi hatiku tidak. Bukankah kamu tadi menawar jasa curhat? Apakah itu tidak berlaku lagi?”

Kudengar Faeyza terkekeh kecil. Ia yang sedang duduk di luar gazebo langsung bangkit dan masuk ke dalam gazebo. Ia kini duduk di hadapanku dengan pandangan sejuknya. Tidak bisa kupungkiri, pandangan itu semakin meluluhkan hatiku.

“Aku pikir kamu masih tidak akan sudi bercerita. Baiklah! Aku siap mendengar!”

Aku tersenyum sekilas. “Sebelumnya, terima kasih sudah mengajakku ke sini,” ucapku memulai pembicaraan kami. Agar tidak canggung, aku lebih memilih ucapan itu yang kuucap duluan sambil minta maaf padanya. “Dan, ya! Aku mau minta maaf karena ketus dengan kamu. Jujur, aku tidak suka ada yang ikut campur urusanku, Kak,” sambungku dengan wajah kubuat sememelas mungkin agar ia mengerti. Dan sepertinya, ia mengerti. Senyumannya terukir menyambut penjelasanku tadi.

“Baiklah! Aku mengerti. Aku minta maaf karena sudah menganggu kenyamanan kamu di kampus.”

“Aku sedang bingung, Kak.”

Aku mulai mengalihkan pembicaraan kami pada pokok pembicaraan dalam curhat-menyurhat ini.

“Bingung karena?”

“Aku tidak tahu harus menceritakan dari mana. Apakah aku harus menceritakan dari awal hidupku, atau dari awal masalah menimpa hidupku.”

Kudengar ia menghela napas dan kulihat ia mengubah posisi duduknya. Tubuhnya dicondongkan ke depan dengan mata menatap lekat ke arah mataku. Aku merasakan degupan yang kencang di dasar jantungku. Kubuang pandanganku ke arah lain berharap ia mengerti bahwa aku gugup dipandang seperti itu.

“Ceritakan saja senyamanmu, Ze.”

“Aku besar di tangan Almarhumah nenekku dan juga asisten rumah tangga. Aku bukan anak yatim-piatu, melainkan aku masih mempunyai orang tua yang lengkap. Hanya saja, mereka terlalu sibuk dengan dunia pekerjaan mereka sampai tidak memperhatikanku. Hampir dua bulan yang lalu, mereka mendapat musibah yang besar dan jelas itu juga musibah untukku. Hidupku sangat miris sebelum musibah itu datang, dan semakin miris saat ia menghampiri keluargaku.

Zenia [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang