Kejujuran

1.9K 129 10
                                    

Aku melirik Papa dan Faeyza yang asik mengobrol di sofa. Kudekatkan mereka dan kuletakkan dua kotak nasi di depan mereka. “Makan dulu, Pa, Kak. Sudah siang,” perintahku menghentikan obrolan yang terlihat serius di antara keduanya.

“Makasih banyak, Ze,” ucap Faeyza meraih kedua kotak nasi yang terbuat dari sterofom. Ia meletakkan satu kotak nasi itu di hadapan Papa dan satunya lagi di hadapannya sendiri.

“Kamu sudah makan, Dek?” tanya Papa yang mulai hendak makan. Aku tersenyum dan menganggukkan kepalaku.

“Kak. Ze nanti ada jam kuliah. Kakak mau sekalian Ze antar ke apartemen atau mau di sini aja?” tanyaku saat mengingat jam kuliah dua jam lagi dan kata-kata Faeyza yang tadi pagi minta izin menjenguk mamaku.

“Tante Dara ada yang jaga di sini?”

“Om enggak ke mana-mana kok. Kamu jaga Zenia aja, ya!” pinta Papa yang dibalas dengan anggukan kecil.

Aku berjalan mendekat pada bangsal Mama yang terlihat Mama sedang terlelap. Kuusap pipi Mama yang menirus dan lagi-lagi usapan itu menganggu tidur Mama. Ah, Ze! Anak macam apa kamu menganggu mamamu tidur?!

“Maaf Ze ngeganggu tidur Mama,” ucapku dengan wajah yang sangat merasa bersalah. Mama membalas ucapanku dengan senyuman yang membuat aku terluka. Senyuman itu sangat lemah sekali.

“Tidak apa, Sayang. Kamu sudah makan?” tanya Mama dengan suaranya yang amat lemah. Sungguh, aku sangat pilu melihat keadaan Mama yang seperti ini. Aku menganggukkan kepalaku dan membalas senyuman indah Mama.
Tuhan. Aku ingin memohon padamu. Muluskanlah jalan takdirku jika bersangkut-paut dengan kehidupan Mama dan juga Papa. Beri kami kebahagiaan yang belum pernah kami rasakan. Tuhan. Jangan ambil mamaku terlalu cepat. Izinkan aku untuk merasakan kasih sayang dan kedekatan dengan mereka. Kumohon ….

“Ze. Kalau kita berangkat sekarang gimana? Aku mau ke akademik untuk urus berkas KOAS-ku.”

Aku melirik Faeyza yang masih sibuk dengan makanannya. Ia melihat ke arahku dengan wajah memohon yang menggemaskan. Aku menganggukkan kepala dan menghadiahkan senyum untuknya. Mama dan Papa hanya melihat kami dengan tersenyum pula. Sebuah kilasan datang begitu saja. Dan aku kesal karena aku tidak bisa pergi dari sini sedetik kemudian.

“Terakhir Papa lihat, kamu ngomongnya judes sama Faeyza. Sekarang, kenapa akrab banget? Sudah tahu mana yang ganteng dan baik ya, Ze?” tanya Papa yang menyirat ledekan di sana. Aku tidak tahu bagaimana sifat Papa yang sebenarnya. Apakah semenyebal ini?

“Ayo, Kak! Makan cepat! Aku gerah di sini!” ujarku dengan wajah tertekuk melirik Papa yang terkekeh hebat. “Ma! Papa ternyata suka ngeledek, ya! Ze pamit duluan, deh! Nanti malam Ze ke sini lagi! Jaga Mama ya Papa nyebelin!” sambungku tanpa melirik ke arah Papa yang kini bukannya terkekeh malah menambah porsi dengan tertawa. Aku meraih ponselku yang tadinya dibawa oleh Faeyza dan mencium Mama untuk segera pergi dari sana.

Ada rasa bahagia aku dan Papa tidak lagi canggung dalam berbicara. Hubungan keluagaku sedikit maju beberapa minggu ini walaupun aku terus bersikap dingin. Dan setelah kejadian tadi, hubungan keluargaku berangsung semakin membaik. Aku bernapas lega dengan sikapku sendiri yang mau merobohkan egoku. Namun, kini aku semakin bingung. Bingung bukan lagi masalah keluargaku. Tapi masalahku dan Faeyza. Aku harus seperti apa menghadapinya?

Bunda! Bantu aku!

“Ikuti saja takdir, Ze. Jangan coba-coba mencari jawaban melalui kilasan yang kau paksakan. Itu akan menyakiti dirimu. Mulailah hidup seperti manusia normal yang kamu harapkan. Biarkan rasa itu mengalir begitu saja.”

Zenia [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang