Semakin Dekat

1.8K 114 2
                                    

Entah sudah berapa kali aku menghelakan napas aku pun tidak menghitungnya lagi. Rasanya sangat berat jauh dari Mama yang sedang sakit. Apa lagi, tadi pagi lagi-lagi Mama pendarahan membuat aku semakin gelisah meninggalkannya hany berdua Papa saja di Singapura. Aku sudah bernegosiasi pada Papa dan Mama untuk pulang besok atau lusa saja. Tapi, mereka malah menolaknya dengan tegas karena aku lusa harus masuk kuliah. Walaupun diizinkan kembali ke Singapura setiap hari Jumat dan pulang ke Jakarta di hari Minggu, aku tetap tidak tenang meninggalkan Mama saat ini.

Sebuah pesan masuk menganggu lamunanku yang sedang menunggu Maudy kembali dari kamar mandi. Saat ini, kami baru saja tiba di Jakarta. Aku dan Maudy rencananya akan pulang bareng tapi tidak langsung ke rumahku melainkan aku mampir ke rumah Maudy sejenak karena rumahnya lebih dekat dengan bandara.

Faeyza: Aku di pintu utama bandara.

Aku melotot saat melihat pesan dari Faeyza dan nyaris teriak. Ini orang penuh kejutan. Tadinya, dia tidak bilang akan menjemputku atau apalah. Dia malah bilang kalau dirinya dinas pagi. Lalu sekarang, ngapain dia ke sini? Cari mati itu orang!

Aku tidak membalas pesan Faeyza melainkan menelepon dirinya yang sedang menungguku. Deringan pertama, panggilanku langsung mendapat jawaban.

“Katanya dinas pagi!” kataku dengan nada sedikit kesal karena ia membohongiku.

Tunggu dulu! Aku kesal? Kenapa aku harus kesal dia membohongiku? Kamu tidak berhak marah, Ze. Suka-suka dia dong! ‘Kan kamu bukan siapa-siapanya dia.

Faeyza terkekeh di hujung sana. “Maaf aku bohong. Tadinya mau bikin kejutan. Tapi kamunya lama banget keluar dari bandara.”

Aku mendengus mendengar alasannya. Tapi, senyumku sedikit terukir saat ia mengatakan bahwa ia ingin memberiku kejutan.

“Tunggu di situ! Aku lagi tunggu Maudy balik dari kamar mandi.”

“Oke! Jangan lama, ya! Aku merindukan kamu.”

Tanpa menjawabnya, aku langsung mematikan sambungan itu. Wajahku memanas akibat kata-kata terakhir Faeyza. Yang benar saja dia merindukanku? Memang selama sebulan aku di Singapura, ia selalu mengatakan kangen atau rindu berkali-kali. Hal itu tak kuhiraukan karena aku berpikir ia hanya bohong belaka. Tapi, entahlah! Memang terlihat ia merindukanku. Terbukti ia datang ke sini untuk menjemputku.

“Yuk!”

Sebuah sentuhan di bahuku menyadarkanku dari lamunan. Maudy sudah berada di sampingku. Aku mengangguk dan melangkahkan kakiku keluar bandara.

“Dy! Gue enggak pulang sama lo, ya! Jangan marah,” ujarku saat kami akan tiba di pintu utama bandara. Maudy melihat ke arahku dan memicingkan matanya. Aku hanya cengengesan karena ia berhasil menebak gelagatku.

“Kak Faey jemput, ya. Cieeee.”

Aku hanya bisa tersenyum malu dan salah tingkah. Perkataan Maudy hanya kubalas dengan cubitan kecil di tangannya yang ia balas tawa jailnya.

Stroller yang kudorong berganti tangan begitu saja membuat aku dan Maudy sedikit terkejut. Stroller itu kini sudah berjalan di depan kami dengan seorang pria tinggi yang tadi mengatakan bahwa ia merindukanku. Kulihat Maudy yang melihatku dengan tatapan jailnya. Aku mendengus kesal dan melangkahkan kakiku pun dengan sentakan keras.

Zenia [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang