'Darrel Gian Lazuardi.'
Sarra membatin dalam hati. Di tengah teriknya matahari yang menyengat, di balik topi koran yang membuat jidatnya banjir keringat, cewek itu tersenyum di antara ribuan mahasiswa baru yang sibuk dengan keluh kesahnya setelah beberapa hari terakhir menjalani masa orientasi. Sekali lagi, dilihatnya name-tag salah satu cowok di seberang kanannya-terhalang dengan satu barisan wanita namun masih terlihat jelas oleh manik tajamnya.
Satu teriakan kakak senior yang menggema di lapangan mau tak mau membuat cewek itu mengalihkan perhatiannya sedetik kemudian. Walau gurat kelelahan terlihat jelas, namun segaris senyum masih terpatri di bibirnya.
'Tampangnya oke juga.'
*****
Hari ini kuliah pagi. Kelas bahasa. Satu kata. Ngantuk.
"Ada yang ngisi?"
Sarra yang sedari tadi tertelungkup di pojokan menegakkan tubuhnya saat mendengar suara seseorang yang bertanya padanya. "Gak ada," jawabnya parau merujuk pada bangku di sebelahnya yang memang tak terisi.
"Gue boleh duduk di sini?"
Sarra mengangguk.
Cewek berkuncir ekor kuda yang terlihat bersemangat itu merespon dengan senyum manis lalu menggeser bangkunya sedikit condong ke arah Sarra. "Dhena," ucapnya tanpa ragu seraya mengulurkan tangan kanannya.
"Sarra."
Mereka bersalaman tepat ketika pintu depan terbuka lebar, menampilkan kedatangan dosen yang melangkah terburu karena terlambat. Sarra menyipit, memperhatikan dosen wanita yang tergolong cukup muda-berusia awal tiga puluhan-dan kini tengah memperkenalkan diri dengan suara tegasnya di tengah ruang kelas.
"Sekarang giliran kalian memperkenalkan diri satu-persatu, dimulai dari ujung paling depan."
Inilah momen yang membuat Sarra cukup jengah dan sempat menghela napas sesaat. Perkenalan di lingkungan baru. Cewek itu memang cenderung membenci sebuah awal baru yang mengharuskannya bertemu dengan orang baru. Untuk apa? Lagipula cepat atau lambat bukankah akan terjadi perpisahan di antara mereka?
Pemikiran konyol? Katakanlah begitu. Ia hanya terlalu malas berbasa-basi dan memasang tampang 'sok imut' demi pencitraan, namun apa boleh buat? Hal ini selalu terjadi saat akan memulai adaptasi.
Saat tiba gilirannya, Sarra berdiri lalu tersenyum seraya menyebutkan nama lengkap dan asal sekolah. Sarra mengakhiri dengan anggukan canggung sebelum satu objek lain menyita seluruh perhatiannya-membuat ia tertegun sesaat sebelum menyecahkan bokongnya kembali ke kursi. Di antara puluhan tampang asing di sekeliling, rupanya ada satu orang yang berhasil mengusiknya.
Cowok itu!
Cowok yang dilihatnya pada hari terakhir masa orientasi. Ia tengah duduk barisan paling belakang dengan kemeja yang melekat di tubuh kurusnya. Sarra tidak mungkin salah ingat. Wajah itu bahkan masih sama dengan yang terakhir kali ia lihat.
Jadi... mereka sekelas?
"Nama saya Darrel Gian Lazuardi. Biasa dipanggil Gian."
Baru saja ia memusatkan perhatian lebih pada suara khas sang cowok yang mengalun, sedetik kemudian atensi Sarra kembali teralihkan saat cewek di sebelahnya-Dhena-menghela napas dan berdecak kesal.
"Kenapa?" tanya Sarra penasaran.
Dhena mengedikkan bahunya dan menggeleng. "Gak nyangka gue bisa sekelas sama dia."
Alis Sarra tertaut. "Siapa?"
Dhena menunjuk cowok yang baru saja diperhatikan Sarra beberapa saat lalu dengan ujung matanya. Ekspresinya menunjukkan rasa tak suka yang amat kentara.
"Gian?" tanya Sarra tak yakin. Ada perasaan aneh di lidahnya. Ini kali pertama ia melantunkan nama itu secara langsung.
Dhena mengangguk. "Dia mantannya temen gue."
Deg!
.
.
.TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
S I N G G A H
Teen FictionSarra membenci pertemuan. Menurutnya, pertemuan hanya akan berujung pada luka perpisahan. Lalu bagaimana dengan pertemuannya bersama Gian? Cowok famous yang mulai menjalin kedekatan secara tak terduga dengannya. Haruskah pertemuannya berakhir dengan...