[3] Keki

240 56 28
                                    

Arang telah tercoret di kening.

Mungkin peribahasa itulah yang kini Sarra rasakan. Semenjak kejadian salah-pijit-ikon-yang-berujung-rasa-malu-tak-terkira, ia selalu mengutuk dirinya sendiri hampir setiap hari. Rasa wegah selalu menghantuinya saat akan berangkat kuliah karena harus berpapasan dengan muka sang korban ulah isengnya-Gian.

Sarra memang cenderung lambat dalam hal bersosialisasi—tidak pernah berani menyapa sebelum disapa duluan. Jangan bayangkan ia pernah mengobrol dengan Gian jika bahkan melontarkan sepatah kata padanya pun tidak pernah. Interaksi di antara mereka hanya sebatas beradu pandang pada beberapa kesempatan secara tak sengaja. Setelahnya Sarra harus menelan rasa malu yang menjalar.

Selain rasa malu, ia juga sebenarnya diliputi rasa penasaran. Setelah hampir dua minggu penuh mereka berada di kelas yang sama, Gian tak pernah menanyakan perihal insiden malam itu, atau bahkan sekadar bertanya lewat chat. Bukan berarti Sarra berharap lebih pada Gian, namun... mungkinkah Gian tak pernah sadar jika dirinya mendapat panggilan tak terjawab malam itu? Atau Gian sempurna mengabaikan dirinya dan menyangka bahwa itu hanya sebuah panggilan iseng?

Kemungkinan kedua dirasa cukup rasional, mengingat popularitas Gian yang memang memungkinkan cowok famous seperti dirinya menerima chat atau panggilan iseng dari para pengagumnya. Jangan bandingkan dengan Sarra yang terlihat bagai bayangan di kelas. Miris. Sarra mendesah setelah benaknya mengangkasa. Ia kembali menelungkupkan tubuhnya di bangku pojok—tempat favoritnya saat berada di kelas.

"Hai!"

Sarra mengerjap

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sarra mengerjap. Satu suara asing menyambangi indera pendengarannya. Dilihatnya kini sesosok cowok tengah duduk di bangku sebelahnya—bangku yang biasanya ditempati Dhena—sedang menatap ke arahnya.

"Sarra, kan? Kita sekelompok."

"Eh?"

Cowok itu mengacungkan selembar kertas di genggaman. Beberapa menit kemudian Sarra baru mengerti bahwa kini mereka ditugaskan secara berkelompok karena absennya dosen setelah melihat pengumuman di papan tulis. Saking asyiknya melamun, cewek itu bahkan tak sadar jika Dhena yang biasa duduk di sebelahnya kini telah berpindah tempat dan bergabung dengan teman kelompoknya sendiri.

Satu-satunya kelebihan yang Sarra miliki adalah otaknya. Ya. Walau tak bisa dikatakan jenius, namun setidaknya otak cewek itu tidak terlalu beku, terbukti dengan ranking sepuluh besar yang selalu didapatkannya semasa sekolah. Di tugas kelompok kali ini pun, ia berkontribusi cukup banyak dengan menyumbangkan pendapatnya terhadap beberapa masalah yang menjadi soal dalam tugas.

"Lo pinter juga, ya?"

Sarra tersenyum canggung. Bingung harus merespon seperti apa pada cowok yang baru saja memujinya. Ia bahkan baru pertama kali mengobrol dengan Bian—cowok yang dikenal Sarra sebagai teman Gian karena bangku mereka yang sering berdekatan saat di kelas. Nama mereka memang sekilas terdengar mirip, namun berbanding terbalik dengan sifatnya yang bertolak belakang. Selain sifatnya, rupa kedua orang itu juga mampu dibedakan dengan sekali lirik.

S I N G G A HTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang