[13] Sar? Sar? Sarra!

206 51 35
                                    

"Siapa tadi yang nganterin kamu?"

Sarra yang baru turun dari kamarnya terhenyak mendengar pertanyaan yang mamanya lontarkan barusan. Dahinya mengernyit heran. "Nganterin apa?"

"Nganterin kamu pulang ngampus. Papa bilang tadi lihat kamu dibonceng cowok."

Sarra segera menatap papanya yang tengah duduk di kursi—bersebelahan dengan mama—pura-pura tak mendengar dan menyibukkan diri dengan koran. Sarra mendengus. "Itu Bian."

"Bian?"

Sarra mengangguk. "Temen kelas."

"Temen apa temen?" Kini giliran papa yang menimpali—masih sok-sok an baca koran padahal cuma bolak-balik halaman.

"Temen, Pa."

"Beneran? Bukan pacar?"

"Apaan sih, Pa? Bukan juga," ketus Sarra.

"Terus tadi ngapain dia nganterin kamu pulang?"

Interogasi pun dimulai. Sarra yang baru bangun dari tidur sorenya dan tadinya berniat untuk mengambil air demi mengaliri kerongkongannya yang kering kini harus menyiapkan diri demi menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang terlontar. Sial! Tahu akan seperti ini ia lebih memilih untuk mengurung diri di kamar.

"Ya nganterin aja."

"Masa cuman nganterin?" goda Papa dengan nada super menyebalkan.

"Iya. Soalnya tadi aku udah bantuin dia."

"Bantuin apa?" tanya mama.

"Bantuin nganterin dia ke Pak Wildan. Itu loh Pak Dosen dari komplek sebelah—suaminya Bu Lena."

Mamanya ini sebenarnya sudah kenal sama istrinya Pak Wildan—Bu Lena. Meskipun tidak akrab, namun mereka pernah ngobrol sekilas-sekilas. Mereka itu sama-sama guru di tingkat sekolah menengah pertama dan sempat beberapa kali ketemu pas lagi pelatihan. Sarra tahu soalnya mamanya sering gosipin Bu Lena. Maklum, Bu Lena itu terkenal seantero komplek sampai ke wilayah rumah Sarra jadi orang kaya baru semenjak suaminya—Pak Wildan—diangkat jadi dosen.

Oke, skip.

"Ngapain kamu nganterin dia?"

Huft!

Sarra mendengus mendengar pertanyaan mama yang makin menyelidik. Mau tak mau ia harus menceritakan runtutan kejadian semenjak ulangan dadakan, absennya Bian, sampai ia yang tahu rumahnya Pak Wildan harus dimintai bantuan oleh Bian agar mengantarnya. Sarra menjelaskan semua itu dengan benar-benar rinci demi menjelaskan permasalahan yang hampir disalahpahami kedua orangtuanya.

Papa melepas kacamata lalu melipat korannya. "Bener dia cuma temen aja?"

Sarra memberengut. "Ish! Gak pada percayaan, nih!"

"Bagus kalau kamu jujur," ucap papa setelah menyeruput kopinya. Ditatapnya Sarra dengan pandangan kalem. "Jangan pacaran dulu. Kamu masih kecil. Kuliah aja dulu yang bener."

"Iya, iya. Udah diinterogasinya? Aku mau minum, nih! Seret!"

Tanpa menunggu jawaban, Sarra segera pergi ke dapur demi segelas air lalu secepat kilat kembali ke kamarnya tanpa memandang papa-mamanya yang masih anteng di ruang tengah. Ia memperkecil kemungkinan untuk berurusan dengan orangtuanya di saat tak nyaman seperti ini. Sarra terlalu malas jika urusan pribadinya dicampuri layaknya tadi hingga mengharuskan dirinya menjelaskan hal-hal yang tak seharusnya.

Sarra kembali duduk di ranjangnya seraya mendesah panjang dengan pipi yang menggembung. Jauh di dalam lubuk hatinya ia memendam sebuah pertanyaan... kapan orangtuanya akan berhenti menganggapnya sebagai gadis kecil? Sejujurnya ia bosan jika harus melulu hidup terkekang. Bukannya Sarra tak ingin memilik batasan, namun... tak bisakah ia merasakan kebebasan seperti remaja pada umumnya?

S I N G G A HTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang