Nyok yang cantik yang ganteng yang kece, votenya dulu!!
Iya w tau minggu kemaren gak apdet. Maklum lah yaa maba lagi uts makanya sibuk :"
Wish me luck in real life and happy reading all ❤*****
"Udah makannya?"
Gian mengangguk setelah menenggak air mineral di hadapannya hingga tandas.
"Kok dikit? Tumben?"
Pertanyaan mama itu hanya mampu dijawab Gian dengan gelengan kepala—entah mengartikan apa—hanya berusaha terlihat baik-baik saja di depan sang mama.
"Omongan papa gak usah terlalu kamu pikirin," ujar mama yang terlalu mengerti dengan jalan pikiran anak bungsunya itu. Mama kemudian mendesah lelah seraya mulai membereskan piring kotor di meja makan. "Mama juga pernah muda. Wajar kok kalau kamu punya pacar. Selama kalian ngejalanin hubungan yang sehat, mama sih gak masalah."
Ya. Itulah yang menjadi beban pikiran Gian saat ini. Ucapan papa beberapa hari lalu yang menyuruh ia agar lebih fokus pada studinya membuat Gian resah bukan main. Ini semua berawal dari ulah jahil keponakannya—Zaki—kakak Nara. Zaki yang terkadang keluar-masuk kamar Gian dengan iseng mengotak-atik ponsel Gian yang saat itu menampilkan pesan singkat dari Sarra.
Ulah itu tadinya sekadar iseng—hanya berniat untuk menggoda Gian dengan melaporkannya pada sang nenek—Mama Gian yang saat itu tengah bersantai di ruang tamu. Kemudian, entah bagaimana caranya terdengarlah berita itu hingga ke telinga ayah Gian yang sering dinas keluar kota—seperti saat ini.
"Lagi belajar?"
"Eh?" Gian yang saat itu tengah mengerjakan tugas di meja belajar kamarnya dikejutkan dengan kedatangan papa secara tiba-tiba di ambang pintu. "Iya, Pa. Papa kapan pulang?"
"Baru banget nyampe." Papa bergerak selangkah sebelum berdeham singkat. "Papa boleh masuk?"
Gian yang masih kaget mengangguk ragu lalu menyimpan bolpoin yang berada di genggamannya, sementara sang papa yang masih lengkap mengenakan pakaian kantor itu melangkah lebih dalam hingga duduk di tepi ranjang.
"Gimana kuliahnya?"
"Lancar, Pa."
"Papa denger kamu punya pacar?"
Deg!
Gian terperanjat. Percuma saja berbohong. Lagipula, seisi rumah pasti sudah tahu tentang ini akibat keponakannya. Sialan! "I... iya, Pa."
"Temen kampus?"
Gian kembali mengangguk seraya menunduk—tak ingin beradu pandang dengan sang papa. Padahal ini bukan hal pertama kali orang tuanya tahu tentang urusan asmaranya, namun tetap saja ini terasa memalukan bagi Gian.
Papa mengangguk-angguk kemudian menatap lurus Gian. "Kalau bisa... kamu fokus sama studi kamu dulu, Gi."
"Eh?"
"Bukannya papa ngelarang, tapi... kalau bisa... kamu fokus dulu sama apa yang ada di depan mata. Kamu baru masuk kuliah, pasti banyak banget tugas, kan? Papa cuma gak mau fokus kamu kebagi-bagi sama hal yang belum seharusnya."
Gian menatap balik dengan tampang tak terkendali—dilihatnya sang papa yang melempar senyum ramah walau terlihat jelas gurat lelah di wajah senjanya. Ia pun mau tak mau mengangguk lalu mengulas senyum sebelum sang papa melangkah demi menepuk pundaknya lalu beranjak pergi.
Sebenarnya, keinginan papa bukanlah menjadi perkara utama bagi kebimbangan Gian. Jika mau, Gian bisa saja berbohong tentang telah memutuskan sang kekasih di hadapan keluarganya. Sekali lagi—Gian memang terusik, namun hal lain yang lebih menjadi bebannya saat ini adalah Sarra. Ya. Kekasihnya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
S I N G G A H
Teen FictionSarra membenci pertemuan. Menurutnya, pertemuan hanya akan berujung pada luka perpisahan. Lalu bagaimana dengan pertemuannya bersama Gian? Cowok famous yang mulai menjalin kedekatan secara tak terduga dengannya. Haruskah pertemuannya berakhir dengan...