[4] Chatting Pertama

238 54 33
                                    

Gian memulai hari dengan sarapan di kantin kampus saat matahari hampir berada di atas kepala. Cowok itu memang anti sarapan jika tak ingin perutnya mual saat dimasuki makanan di pagi hari. Entahlah, lambungnya memang terlalu sensitif padahal ia tak punya penyakit maag. Kelas yang dimulai siang pun membuatnya bisa cukup bersantai kali ini.

"Capek banget gue."

Seseorang baru saja mengambil tempat di sampingnya. Siapa lagi kalau bukan Bian? Cowok itu dengan lancang mengambil jus Gian dan menghabiskannya dalam sekali tenggak. Sebuah definisi teman tidak tahu diri adalah Bian.

"Lo abis darimana?" tanya Gian setelah kembali memesan jusnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Lo abis darimana?" tanya Gian setelah kembali memesan jusnya. Cowok itu tidak mau banyak bicara—layaknya cowok sialan di sebelahnya—namun setelah ini ia pastikan untuk membuat Bian yang membayar jusnya.

"Ruang dosen."

"Ngapain?"

"Tadi gak sengaja ketemu di koridor, terus gue dipanggil sama Bu Vina."

"Lo kena kasus?"

Bian menggeplak topi Gian hingga cowok yang sedang asyik mengunyah lontong sayur di hadapan tersebut mendelik marah. "Sembarangan kalau ngomong!"

"Terus abis ngapain?"

"Bu Vina hari ini gak masuk, tapi ngasih tugas."

"Serius?"

"Dua rius. Nilai ulangan harian juga nanti suruh diambil di mejanya."

"Udah keluar nilainya? Lo udah liat?"

"Belum, tapi tadi Bu Vina bilang ada yang dapet nilai tertinggi di kelas."

"Siapa? Gak mungkin lo, kan?"

"Lo juga bukan, Bambang!"

"Terus siapa?"

"Sarra."

Gian mengernyit setelah menghabiskan suapan terakhirnya. "Sarra?"

"Iya. Pinter banget doi."

Gian tertegun setelahnya. Selain karena perutnya yang kekenyangan, namun juga karena ia tengah mengingat-ingat nama yang baru saja disebutkan. Sarra? Bukannya cewek itu yang beberapa waktu lalu pernah sekelompok dengan Bian? Cewek yang seingatnya selalu di sebelah Dhena saat di kelas. Bagaimanapun juga, Gian memang telah mengenal Dhena sebelumnya jadi ia tidak mungkin salah ingat.

Bagaimana mungkin ia bisa lupa dengan Dhena—cewek bermulut tajam yang pernah memakinya sehari setelah ia putus dengan mantannya? Walau setelahnya masalah di antara mereka dilupakan begitu saja, namun ia akan selalu ingat dengan kilat kemarahan yang dipancarkan Dhena untuknya. Gian harus pasrah jika ia banyak menerima kebencian akan kelakuannya.

Harus diakui bahwa ia memang brengsek, bahkan mungkin hingga sekarang. Namun saat itu Gian yang gamang akan perasaannya terpaksa harus memutuskan mantannya demi cewek lain. Ya. Seorang cewek yang hingga saat ini masih mempunyai tempat spesial di hatinya walau telah ribuan kali ia tertolak. Miris. Cowok hampir perfect sekelas Gian juga punya sumber patah hati terhebat.

S I N G G A HTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang