Kuliah hari pertama itu diakhiri dengan Sarra yang pulang naik angkutan umum dan tiba di rumahnya berbarengan dengan matahari yang hampir tenggelam di ufuk barat. Maklum, Sarra yang cemen ini memang tidak bisa naik kendaraan pribadi dengan alasan 'takut kenapa-napa'. Jadi terpaksa kalau pergi kemanapun ia menggunakan transportasi umum.
Baru saja Sarra menjejak loteng atas rumahnya, pemandangan di ambang pintu kamar membuatnya berhenti sejenak sebelum melangkah kembali untuk menyimpan tas. Sang mama sedang duduk bersila di karpet dan di hadapannya membentang sebuah sejadah. Bukan lagi shalat kalau sejadah itu kini dilipat jadi dua dengan bentangan baju yang tengah dirapikan di atasnya.
Ya. Mamanya lagi nyetrika di sana.
"Baru pulang?"
Sarra menggumam, merespon pertanyaan basa-basi itu sebelum merebahkan dirinya di single-bed kesayangan.
"Mandi, gih!"
"Males."
Mama berdecak. "Anak gadis kok males mandi."
'Bodo ah, Ma.'
Sarra membatin. Kalau direspon langsung, yang ada malah mancing ribut. Sarra lagi males menimpali omelan mamanya di tengah rasa remuk yang mendera sekujur badannya. Selain anti mandi sore—mandi pagi pun hanya jika ia ada keperluan untuk pergi—Sarra ini orangnya mager. Malas gerak. Walau bertubuh kurus, namun cewek ini tidak pernah olahraga. Dalam setahun mungkin ia hanya menjadwalkan dua sampai tiga kali untuk olahraga lari kalau lagi sadar diri.
Keterlaluan, memang.
Itu pun bukan lari dalam arti kata sebenarnya. Hanya sok pakai kaus serta training dan sepatu olahraga—lengkap dengan headset yang menempel di lubang telinganya—terus lari-lari kecil, kecapekkan, terus jalan santai deh akhirnya. Parah, bukan? Jadi sekalinya beraktivitas di luar rumah, ujung-ujungnya ia malah kecapekkan kayak sekarang.
"Papa mana?" tanya Sarra seraya memejamkan matanya yang terasa memberat. Saat pulang tadi ia memang tak melihat batang hidung papanya yang biasanya duduk manis dengan cerutunya di ruang tengah.
"Ke warung, mungkin."
Sebagai respon, Sarra kembali menggumam.
"Sar, kamu tuh yang bener dong kalau nyuci!"
Ngomel lagi, kan? Kali ini kenapa lagi, sih? Padahal Sarra dari tadi hanya diam—lagi gak niat buat nyari gara-gara.
"Kenapa sih, Ma?"
"Liat, nih! Masih ada dakinya!" jerit Mama seraya menunjukkan noda yang hampir tak kasat mata itu di salah satu kaus Sarra.
"Segitu doang kali, Ma."
"Tetep aja masih kotor!"
Sarra mengerling malas seraya berdecak. "Pas nyuci gak kelihatan."
"Alasan!" Mama kembali menyetrika kaus itu dengan misuh-misuh seraya terus mendumal—kebiasaannya kalau lagi kesel sendiri. "Kamu tuh emang gak pernah becus nyuci! Kamu kalau jadi pembantu udah diusir kali sama majikan. Kerjanya gak pernah bener!"
KAMU SEDANG MEMBACA
S I N G G A H
Teen FictionSarra membenci pertemuan. Menurutnya, pertemuan hanya akan berujung pada luka perpisahan. Lalu bagaimana dengan pertemuannya bersama Gian? Cowok famous yang mulai menjalin kedekatan secara tak terduga dengannya. Haruskah pertemuannya berakhir dengan...