RAKAI PIKATAN 4

139 5 0
                                        

Tentatif di malam hari.

Rakai Pikatan duduk di tepian kayu di depan pondok tidurnya. Bulan sudah meninggi di langit menandakan bahwa malam sudah sangat larut. Di sekelilingnya ia dapat melihat pondok – pondok cendekiawan – cendekiawan lainnya. Obor menyala di sudut – sudut bangunan, meninggalkan kesan temaram di malam hari. Di depannya terbentang sebuah lapangan dan pondok utama yang juga merupakan tempat bermalam Mpu Galuh sebagai pemimpin cendekiawan. Rakai Pikatan menyapu pandangannya ke seluruh bangunan dan melihat hanya dua mpu yang sedang berbincang – bincang di depan pondoknya masing – masing. Maklum, malam sudah larut.

Bukan tanpa alasan Rakai Pikatan termenung di malam hari. Pembicaraan dengan wakil tanah Sumatera membuatnya tidak bisa menutup mata. Ia sendiri menyadari bahwa ia bukanlah manusia yang terbiasa dengan dinginnya angin malam dan lolongan serigala yang memecah keheningan. Hanya saja pikirannya dipenuhi dengan berbagai macam kemungkinan yang akan terjadi dan mengancam kerajaan baru ini. Kekhawatirannya yang semakin menjadi ditunjukkan dengan gerakan mondar – mandir di depan bilik tidurnya.

Sepasang sorot mata menatap lekat pergerakan Rakai Pikatan. Menangkap kecemasan yang ditunjukkan calon pewaris tahta, pemilik sorot mata tersebut memilih keluar dari pondoknya dan menemui sang pemuda.

"Bukan waktu yang tepat untuk menjadi gelisah, kawan?"

Rakai Pikatan terkejut. Ia tidak menyadari bahwa Mpu Galuh sudah berada di hadapannya.

Mpu Galuh memulai percakapan sembari tersenyum, "Mata lembing masih jauh dari jangkauan, namun nampaknya seseorang di sini sudah mencari sumur yang sangat dalam."

Rakai Pikatan sedikit tersentak. Mpu Galuh memang merupakan orang yang senang memakai ungkapan dalam menyatakan maksudnya, sehingga diperlukan kehati – hatian dalam menerjemahkannya. Dalam usiannya yang sudah mencapai dasa delapan, ingatannya dan kemampuannya dalam merangkai kata tidak berkurang. Rakai Pikatan sangat menghormati Mpu Galuh dalam hal ini.

Ia tahu maksud kedatangan Balaputradewa dan Udayaditya ke tanah ini, bukan? Begitukah yang ia maksud? Rakai Pikatan terlihat ragu – ragu dalam menerjemahkan ungkapan Mpu Galuh. Melihat kekosongan yang ditunjukkan Rakai Pikatan, ia tersenyum. Sang pemimpin duduk di depan bilik sang pemuda, menyuruh Rakai Pikatan untuk duduk di sebelahnya.

Mpu Galuh kembali mengucapkan ungkapan, "Pada waktu ini langit berwarna hitam, namun jika kau perhatikan baik – baik, sang padi tetap berwarna kuning. Semakin tua ia, maka akan semakin menunduk. Ya, Rakai Pikatan, aku sudah mengetahui maksud kedatangan sang Otak ke istana ini."

Rakai Pikatan terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa. Simpati pun tidak akan membantu.

"Aku tidak mendengar langsung. Aku hanya bisa menerka – nerka maksud kedatangan mereka. Melihat ayah Pramoda begitu larut dalam ruang pertemuan dari pagi hingga malam, aku tahu mereka sedang membicarakan sesuatu yang besar."

Mpu Galuh kemudian menengok ke samping, dan dengan sebuah gerakan rahasia ia membisikkan sesuatu, "Dapatkah engkau menjaga rahasia? Aku hendak memberitahukan sesuatu."

Rakai Pikatan mengangguk.

"Pada pagi hari sebenarnya ruang pertemuan kosong. Mereka tidak berada di dalam." Rakai Pikatan sedikit kaget dengan informasi yang diberikan oleh sang penghulu cendekiawan.

"Di manakah mereka berada?" Mpu Galuh berhenti sebentar, "jika kau memerhatikan cerita – ceritaku terdahulu maka kau akan mengetahui keberadaan mereka dan apa yang mereka lakukan. Ya, mereka pergi berburu ke Hutan Undir. Kemarin aku melihat raja menyamar menjadi rakyat biasa membawa rusa hasil tangkapan mereka ke gudang penyimpanan."

Nusa AntaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang