PRAMODAWARDHANI 6

76 3 0
                                    

Jika esok nyawa meregang, hanya satu warisanku: cinta.

Rakai Pikatan melangkah di antara pepohononan di Hutan Undir. Alas kakinya ternyata tidak cukup untuk melindungi kulitnya dari semak – semak dan alang – alang. Beberapa kali ia harus berhenti menggaruk kaki. Namun perhatiannya terus tertuju ke depan.

Di tangannya yang lain ia mengenggam tangan seorang wanita. Sebuah tangan yang lembut, dengan sebuah gelang perak berada di pergelangan tangannya. Pakaian satin berwarna hijau melekat pada tubuhnya. Ia tidak memakai tata rias pada wajahnya, namun ia terbiasa dengan ucapan rakyat bahwa dirinya adalah titisan seorang dewi. Rakai Pikatan telah mengatakan padanya bahwa mereka akan bertualang di Hutan Undir hari ini, oleh karena itu ia membiarkan rambutnya tergerai.

Sinar matahari mencoba menembus dari sela – sela dedaunan. Bayangan yang dihasilkan membuat tanah seperti bercerita wayang.

Cerita apakah yang hendak diberitakannya? Kematian? Atau kepahlawanan?

Rakai Pikatan terus melangkah bersama Pramodawardhani. Kadang melangkah cepat, kadang melangkah pelan. Pramodawardhani tidak pernah memasuki Hutan Undir. Ia lebih senang mengunjungi tempat – tempat persembahyangan. Candi Prambanan lebih menarik baginya, walaupun ia tidak beribadah di tempat itu. Ia menyukai seni dan alam, hanya saja ia tidak suka mendapatkannya melalui perjuangan.

Kakiku sudah hampir seperti sarang nyamuk saja. Gatal sekali. Tanganku juga.

Rakai Pikatan berjanji bahwa mereka akan melihat sebuah pemandangan yang luar biasa. Pramodawardhani mengikuti ucapannya, walaupun ia paham bahwa tidak ada yang mampu mengalahkan pemandangan candi baru yang dibangun oleh Samaratungga. Candi yang menjulang, dikelilingi oleh perbukitan dan langit biru. Atau mungkin candi itu tidak akan pernah selesai.

Perjalanan kini mulai menanjak. Pada awalnya Pramodawardhani masih dapat mengikuti langkah – langkah Rakai Pikatan. Setelah bertanya sejauh apa mereka harus melangkah, jawaban Rakai Pikatan membuatnya berhenti. Ia meneduhkan diri di bawah sebuah pohon rimbun.

"Pemandangan apa yang kau janjikan padaku, wahai Mpu Manuku?"

"Sudah kubilang berkali – kali, tidaklah kejutan jika aku mengatakannya sekarang."

"Aku mau balik saja."

"Tuan putri, kita sudah setengah jalan. Jika kau hendak beristirahat maka aku akan menunggumu. Tenang saja."

"Apakah pemandangan ini seharga kulitku yang mulai memerah?"

Rakai Pikatan tersenyum dan mengangguk perlahan.

"Baiklah. Tunggu dulu beberapa saat."

Rakai Pikatan tersenyum dan mengambil posisi di samping Pramodawardhani. Sang putri menyenderkan kepalanya di bahu Rakai Pikatan. Mereka menikmati angin sepoi – sepoi yang mengalir. Terlebih, baru saja matahari tertutup oleh sang awan.

Beberapa saat kemudian Rakai Pikatan membuka percakapan.

"Tuan putri, apakah menurutmu kita akan melewati minggu ini dengan selamat?"

"Ssst, tutup mulutmu, aku tidak ingin mendengar segala sesuatu yang berakhiran dengan nasib atau perang."

Sembari tersenyum, Rakai Pikatan menjawab, "Baiklah, Pramoda."

Pramodawardhani memejamkan matanya. Lama ia tidak mengalami nasib seperti ini. Hanya berdua dengan orang yang paling kusayangi. Setiap hitungan akan sangat berharga. Pundaknya terasa seperti bantal di istana saja.

Rakai Pikatan memetik sesuatu dengan tangan kirinya. Tanpa melihat, Pramoda merasakan sentuhan di telinga kirinya. Ia mengambil benda itu. Kini bunga mawar berwarna merah telah hadir di tangannya. Sungguh indah bunga itu, bahkan Pramoda hendak memarahi Rakai Pikatan karena ia memetik dan menghilangkan nyawa sang bunga.

Nusa AntaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang