Seorang panglima dan seorang ksatria. Mereka jual beli serangan.
Bagus, Anggabaya, kau melawanku. Hal terbaik yang kusuka darimu adalah kau tidak mudah menerima takdir. Kau akan melawan walaupun kau salah.
Baik Anggabaya maupun Joko Wangkir tidak menggunakan senjata dalam pertarungan mereka. Anggabaya memiliki tubuh dan otot lebih besar dibandingkan sang panglima sehingga jelas pertarungan seperti ini akan menguntungkan sang ksatria. Pada awalnya Anggabaya mampu mendaratkan tinju kanannya pada pinggul kiri Joko Wangkir. Namun hanya itu saja yang masuk. Sisanya lolos.
Muka Anggabaya kini sudah biru memar akibat pukulan demi pukulan yang mendarat pada mukanya. Joko Wangkir hanya mengenal satu ilmu beladiri. Ia tahu bahwa untuk menangkis pukulan dengan tenaga yang berat diperlukan waktu yang tepat. Dan itulah yang ia lakukan sedari awal. Ilmu dan strateginya berhasil menghukum seorang ksatria yang berulah memanggil kumpulan prajurit bandit dari tanah timur.
Sebuah bogem mentah membuat Anggabaya jatuh terduduk.
"Sudahlah, kawan, jangan kau lawan lagi panglimamu itu." Unggun Krama berusaha untuk menyudahi perlawanan Anggabaya.
"Tidak, lihat saja. Akan kubuktikan kalau aku benar, dan raja akan memanggil para bandit itu."
Kini sebuah sapuan dari kaki Joko Wangkir menghantam pipi Anggabaya. Sang ksatria pun jatuh terpelanting.
"Kau belum paham kesalahanmu, bukankah begitu, Anggabaya? Aku akan terus menghajarmu hingga kau mengucapkan alasan yang benar."
Sang panglima bersiap untuk mengejar Anggabaya. Sang ksatria kini tidak lagi melawan, melainkan hanya berusaha menamengi mukanya dengan tangan kosong. Satu bogem hadir di pipinya, satu hadir di dagunya, satu lagi terasa pada tulang rusuk, sebelum Unggun Krama melerai Joko Wangkir dari Anggabaya.
"Cukup, panglima, ia sudah babak belur. Lihat, matanya sudah tertutup satu."
Joko Wangkir berdiri dan merapikan diri.
"Aku belum memaafkannya. Ikat dia pada kursi dengan tali tambang!"
Unggun Krama mengangguk. Raka Saputro yang sedari tadi memerhatikan kini ikut membantu koleganya untuk mendudukkan Anggabaya dan mengikatnya. Yang diikat sudah tidak sadarkan diri.
Joko Wangkir mengucapkan sabda, "Bukan perihal meminta bantuan pasukan yang menjadi kesalahannya. Ia tidak meminta ijin terlebih dahulu. Semua tindakannya tidak dipikirkan dengan matang. Apa gunanya memiliki otot besar namun otak tumpul. Akulah panglima di Kerajaan Medang. Semua kebijakan perang harus melalui diriku."
"Yang kedua, tidak ada yang bisa menjamin kelakuan para bandit ini. Kita hanya bisa berharap pada dewa, agar mereka tidak menjarah warga Medang sendiri. Perjanjian sudah diucapkan dan dibayarkan, tidak bisa dibatalkan. Aku meminta kepada kalian, sampaikan juga pada pasukan kalian, jika mereka bertindak di luar kendali, habisi saja langsung. Tidak perlu meminta aba – aba dariku."
Limajaya dan Iyang Taslim mengangguk, "Tenang saja, panglima. Kami sudah berpengalaman menghadapi para bandit. Yang kusesali adalah hal seperti ini pasti akan menimbulkan korban jiwa."
Joko Wangkir menggeleng. "Entah apa yang ada di benak Anggabaya saat ia berbicara dengan musang kecil. Mungkin ini adalah akibat tuak yang ia minum."
"Sudahlah, aku tinggalkan si gendut ini sekarang. Biarkan ia dalam kondisi seperti ini hingga esok. Biar ini menjadi hukuman baginya."
Keempat ksatria yang lain mengangguk. Joko Wangkir melangkah meninggalkan pondok latihan ksatria. Setapak demi setapak ia melangkah di samping lapangan Prambanan. Pikirannya seperti angin taupan yang berderu kencang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nusa Antara
Ficción histórica"Berjaga - jaga adalah sifat manusia yang terbaik. Langit cerah pun akan memunculkan hujan besar jika kita tidak melihat awan hitam di pulau berbeda. Terakhir Samaratungga bertemu Balaputradewa adalah dua puluh lima tahun yang lalu, Putri Pramoda,"...