Pagi yang cerah di Kerajaan Medang. Mari kita berperang.
Joko Wangkir melangkah menyusuri pavilion – pavilion di depan istana Prambanan. Dalam benaknya ia bermaksud untuk menuju barak pasukan yang terletak di bagian barat pelataran istana. Area barak pasukan terdiri dari empat buah kawasan pondok yang dibagi – bagi berdasarkan peringkat prajurit: prajurit muda atau tamtama, perwira, komandan, dan ksatria. Selain itu terdapat satu buah pondok pelengkap untuk prajurit pelengkap yaitu pembawa panji, peniup sangkakala, dan keperluan lainnya.
Langit cerah tanpa awan menyambut kedatangannya di Lapangan Prambanan. Lapangan Prambanan terletak tepat di samping komplek Candi Prambanan. Suara prajurit terdengar riuh rendah saat melakukan latihan dan simulasi pertempuran. Ia memperhatikan setiap divisi yang berlatih, dengan masing – masing di bawah arahan seorang komandan. Setiap divisi terdiri atas tamtama dan perwira. Khusus untuk tingkat ksatria ia instruksikan untuk berlatih secara pribadi dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan. Saat ini pasukan prajurit Kerajaan Medang memiliki lima orang ksatria: Anggabaya, Raka Saputro, Unggun Krama, Limawijaya, dan Iyang Taslim. Untuk tingkat ksatria ia sediakan tempat latihan dalam ruangan, lengkap dengan persenjataan masing – masing.
Joko Wangkir memasuki pondok latihan ksatria. Hanya tiga orang yang hadir di pondok tersebut yaitu Raka Saputro, Unggun Krama, dan Limawijaya. Tidak ada kehadiran dari Anggabaya dan Iyang Taslim. Si gendut itu minum – minum lagi. Sialan. Raka Saputro sedang berlatih dengan tombaknya dan Unggun Krama terlihat sedang melakukan gerakan push – up ketika sang panglima memasuki ruangan. Sedangkan Limawijaya terlihat sedang membaca buku yang merupakan kegemarannya. Mereka bertiga segera menghampiri Joko Wangkir ketika ia terlihat memasuki ruangan.
"Selamat pagi, panglima. Ada kabar apa gerangan?" Limawijaya membuka percakapan.
Joko Wangkir tidak segera menjawab. Ia memperhatikan masing – masing ksatrianya. Limawijaya adalah seorang bertubuh kurus, bermuka cerah, terlihat bergairah, dan memiliki lengan yang cukup panjang. Kelebihan inilah yang dimanfaatkan benar – benar dimanfaatkan olehnya yaitu ia memiliki senjata andalan tombak ganda, dengan dua buah tombak di tangan kiri dan kanan. Yang tidak dimengerti oleh Joko Wangkir adalah kegemarannya dalam membaca buku yang dianggapnya tidak wajar bagi seorang prajurit, bahkan untuk tingkat ksatria.
Unggun Krama merupakan seorang pemuda tampan yang memiliki darah bangsawan dan memilih jalur menjadi seorang prajurit. Joko Wangkir kadang merasa dewa tidak adil. Unggun Krama adalah ksatrianya yang memiliki kemampuan terhebat, bahkan kadang ia berpikir bahwa Unggun Krama sudah setara dengannya. Senjata andalannya adalah pedang, ototnya yang kuat menunjangnya untuk melakukan berbagai macam jurus andalan.
Kebalikannya, Raka Saputro merupakan pemuda desa yang meniti karir menjadi seorang ksatria pada pasukan Kerajaan Medang. Berasal dari Banyuwangi dan memiliki kulit hitam legam, Raka Saputro mendapatkan kehormatan dari orang – orang di sekitarnya. Ia merupakan orang yang gigih berjuang, memulai dari bawah, dan kemampuan yang ia raih berasal dari kerja keras. Senjata andalannya adalah pedang dan belati.
Joko Wangkir sudah mempersiapkan dirinya. Pagi itu ia bermaksud memberitahu kepada para pasukannya bahwa raja telah menyatakan perang kepada Kerajaan Sriwijaya.
"Para ksatria. Saya disini atas komando raja sendiri. Persiapkan diri kalian mendengar berita ini." Joko Wangkir berhenti sebentar, lalu melanjutkan, "Kerajaan Medang kini berada dalam situasi perang dengan Kerajaan Sriwijaya. Persiapkan diri kalian baik – baik. Kita akan maju ke medan pertempuran yang sangat besar."
Berbeda dengan bayangan di benak sang panglima, ketiga ksatrianya menerima berita tersebut dengan biasa saja. Tidak ada reaksi berlebihan.
"Kami sudah bisa menduganya, yang mulia panglima. Rumor yang berkembang benar – benar terjadi. Kami sudah mempersiapkan diri secara mental dan fisik." Unggun Krama menjelaskan kepada Joko Wangkir.

KAMU SEDANG MEMBACA
Nusa Antara
Ficción histórica"Berjaga - jaga adalah sifat manusia yang terbaik. Langit cerah pun akan memunculkan hujan besar jika kita tidak melihat awan hitam di pulau berbeda. Terakhir Samaratungga bertemu Balaputradewa adalah dua puluh lima tahun yang lalu, Putri Pramoda,"...