Kau tahu.
Sesungguhnya aku tidak sebegitu inginnya menaklukkan kerajaan ini.
Perintah ayah adalah yang utama, aku memahami dan meyakini hal itu.
Namun,
Kini aku berjalan di tanah Khmer, di depan menara Barwajarasa.
Di kiri kananku bergelimpangan mayat.
Aku tidak mengingini hal ini.
Buddha pun tentu tidak.
Adakah cara sebuah kerajaan menyerahkan tampuk kekuasaannya, menyerahkan mahkotanya, tanpa harus kematian menghinggapi?
Ada.
Bernegosiasi, bertukar pendapat, mencapai kata sepakat.
Tapi mereka tidak melakukannya.
Lihatlah puncak menara Barwajarasa itu.
Sungguh indah, atapnya terbuat seluruhnya dari perak, warna merah menghiasi sebagai coraknya, dan tiang emas di puncak menara bagaikan penantang petir yang hendak menyambar.
Lebih berhargakah emas, perak, pualam, intan, berlian, cengkih, lada, ketumbar dibandingkan dengan nyawa manusia?
Aku tidak menyadari.
Aku menginjaknya saat ini.
Sebuah kepala, terbenam di lumpur.
Bukan prajurit kita, ada warna merah di pundaknya.
Aku menggeleng – gelengkan kepalaku.
Tidakkah mereka sudah mendengarnya?
Kerajaan Siak? Baik selatan maupun utara?
Kerajaan Indragiri? Baik hilir maupun hulu?
Kerajaan Malaka? Tumasik?
Tanjungpura? Singkawang?
Kami hanya mengasihani orang – orang bar – bar di tanah utara Sumatera.
Kalian bukanlah orang bar – bar.
Kalian berperadaban.
Demi nama Buddha, tolonglah.
Jangan biarkan aku menghimpun seluruh kekuatan perang yang kubawa kemari.
Sayang, terlalu sayang.
Kuberikan waktu hingga matahari meninggi.
Akankah ada orang datang membawa kabar?
Aku tahu betul istana Angkor Wat.
Batunya sangat tebal dan tinggi.
Pemanah – pemanah ada di sela – selanya.
Pelempar batu pun tidak sedikit di puncaknya.
Cukup kau buka pintu utamanya, kirim orang untuk bertukar pendapat.
Tidak perlu mengirimkan panah dan batu.
Aku tahu bahwa Sungai Kamboja mengaliri istana.
Aku tahu tidak ada gunanya mengurungmu hingga persediaan makanan habis, karena kalian memiliki ladang gandum dan padi di dalam istana.
Kemanakah lawan akan melarikan diri, jika pulau sudah terkepung?
Sayang hari ini semboyan kami bukanlah senjata pamungkas.
Manakah orang yang dimaksud?
Sudah hampir tengah hari.
Mereka menguji kesabaranku.
Aku tahu aku tidak ingin membunuh banyak prajurit Sriwijaya.
Strategi menyemut di depan istana akan membuat banyak sekali korban.
Aku tahu ada senjata yang sangat efektif, kupelajari dari ayahku dahulu.
Apakah itu?
Ketakutan.
Kibarkan panji dan bendera tinggi – tinggi.
Biarkan angin membawa pesan kematian menuju istana musuh.
Tabuh genderang keras – keras.
Teriakkan nama Sriwijaya kencang – kencang.
Kepung dari segala penjuru.
Biar mereka tahu jumlah kami ada banyak.
Semoga mereka menyerah, ya Buddha.
Aku membenci pertumpahan darah.
Akankah pintu itu terbuka?
Akankah pembawa pesan itu datang?
Tolonglah.
Aku membenci pertempuran.

KAMU SEDANG MEMBACA
Nusa Antara
Narrativa Storica"Berjaga - jaga adalah sifat manusia yang terbaik. Langit cerah pun akan memunculkan hujan besar jika kita tidak melihat awan hitam di pulau berbeda. Terakhir Samaratungga bertemu Balaputradewa adalah dua puluh lima tahun yang lalu, Putri Pramoda,"...