Sungguh. Mereka tidak seperti musuh. Mereka seperti saudara setanah air.
Rakai Pikatan tidak mengerti mengapa ia secara pribadi mendapat tugas dari raja untuk mengawal kembali Balaputradewa dan Udayaditya menuju tanah Sumatera seorang diri. Ia merasa bahwa Joko Wangkir atau Mpu Panca lebih layak untuk mengawal calon musuh mereka tersebut. Atau bahkan kerahkan saja selusin pasukan. Atau selaksa bila perlu. Mereka ini orang – orang berbahaya. Namun pengalaman perjalanan bersama kedua orang ini mengubah pandangannya.
Rakai Pikatan memerhatikan air jernih beriak dari mata air yang berasal dari kaki Gunung Merbabu. Matanya mengikuti aliran air terjun yang terpampang dengan jelas di depannya. Orang – orang aneh ini lagi – lagi membuatku kebingungan. Balaputradewa membuat permintaan untuk tidak melewati jalur ketika mereka datang dahulu. Alih – alih menyusuri tepi Sungai Progo, mereka bergerak tepat tegak lurus arah matahari terbit, yaitu menuju utara. Keluar dari istana Prambanan, menuju utara. Jalur ini menyulitkan karena mereka akan melewati jalur Gunung Merapi dan Merbabu.
Rakai Pikatan menoleh ke kirinya. Tepat di depan bilik sebuah saung pedesaan, Udayaditya sedang bersender pada dinding bambu. Ia setengah tertidur dan terlihat menikmati hawa sejuk yang berasal dari air terjun dan cakrawala yang sedang teduh – teduhnya. Mungkin ia kelelahan setelah berjalan setengah hari lamanya, mengingat mereka keluar dari istana Prambanan pagi tadi. Sedangkan pamannya tidak terlihat. Rakai Pikatan menebak bahwa ia sedang berada di dalam bilik dan bersemedi.
Laki – laki yang menarik, mereka ini. Rakai Pikatan mendapat kesan bahwa mereka sendiri tidak ingin benar – benar menyatakan perang. Hal ini terlihat ketika mereka hendak bergerak keluar dari gerbang kerajaan, Udayaditya memohon ijin untuk melangkah menuju Taman Anyelir. Pemandangan berikutnya mengejutkan dan membuat hati tergelitik, karena ia kembali dengan sebuah botol kaca berisikan air. Ia mengakui bahwa air itu berasal dari kolam yang bersumber dari kaki Gunung Slamet.
Rakai Pikatan menilai Balaputradewa hanyalah seorang paruh baya biasa. Kelebihannya adalah ia bersifat tenang dan tidak mudah terpancing. Sejauh ini Rakai Pikatan belum melihat kelebihan lainnya. Mungkin karena ia berada di negeri seberang sehingga tidak mampu menunjukkan kemahirannya. Oiya, satu lagi, ia sangat amat sopan.
Orang yang terakhir berada di pemikiran Rakai Pikatan melangkah keluar bilik. Mengenakan sari kuning dan alas kaki bertali, ia melangkah menuju Rakai Pikatan.
"Kau sudah cukup beristirahat? Adalah baiknya kita meneruskan perjalanan ini. Namun tidak usah dipaksakan. Kita memiliki banyak waktu. Jika kau ada keperluan jangan sungkan – sungkan untuk mengatakan."
"Tidak, paman, aku baik – baik saja. Baik, ayo kita teruskan perjalanan ini."
Sebuah dengus yang panjang memotong kalimat tersebut. "Tunggulah sebentar lagi kawan, paman, dewa cakrawala sedang baik – baiknya pada waktu ini."
Udayaditya kembali memejamkan matanya setengah terlelap. Balaputra memandang Rakai Pikatan, mengangkat bahunya, kemudian duduk tidak jauh dari Rakai Pikatan untuk menikmati air terjun.
Tuhan, salah apakah aku ini. Mereka ini adalah orang – orang penting yang akan menyerang kerajaanku. Namun mereka tidak ada bedanya seperti keluarga sendiri. Tidak ada!
Hanya satu kalimat yang meluncur dari mulut Balaputradewa ketika ia bersama Rakai Pikatan duduk di tepi saung di samping Sungai Merbabu, "Benar – benar air terjun yang indah." Selebihnya keheningan mewarnai percakapan kedua calon pemimpin kerajaan yang berbeda tersebut. Tentu saja hal itu bermakna konotasi karena derasnya air terjun menghasilkan kebisingan.
Tepat ketika matahari mulai menyerong di cakrawala, mereka bertiga memutuskan untuk meneruskan perjalanan. Rakai Pikatan menyadari bahwa ia bisa saja mengorek informasi mengenai Kerajaan Sriwijaya. Atau lebih baik lagi, mempersuasi mereka untuk tidak menyerang Kerajaan Medang. Atau lebih buruk, membunuh mereka sekarang juga. Rakai Pikatan sendiri tercekat ketika pemikiran itu muncul dalam dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nusa Antara
Ficción histórica"Berjaga - jaga adalah sifat manusia yang terbaik. Langit cerah pun akan memunculkan hujan besar jika kita tidak melihat awan hitam di pulau berbeda. Terakhir Samaratungga bertemu Balaputradewa adalah dua puluh lima tahun yang lalu, Putri Pramoda,"...