UDAYADITYA MAHARDEWA 5

42 3 0
                                    

Ribuan layar terkembang.

Udayaditya berusaha mengikat tali pada alas kakinya. Kokokan ayam yang membangunkannya terasa berbeda di hari ini. Ia merasa bahwa dirinya akan menjadi saksi bagaimana sebuah kerajaan besar terhapus dari permukaan bumi.

Walaupun aku tidak berkontribusi besar, mataku akan menyaksikan segalanya. Itu sudah cukup.

Ia beranjak dan melihat ke luar jendela di bilik tidurnya. Pelabuhan di Sungai Musi terlihat ramai dengan kapal – kapal tertambat di sisi – sisi pelabuhan. Semuanya memiliki layar kecil di atas ketiga layar kuning yang biasa dimiliki oleh kapal – kapal Sriwijaya. Di kejauhan ia melihat biru laut terbentang sangat luas. Matahari baru saja meninggi pada saat itu.

Kapal – kapal paman Balaputradewa sudah tidak terlihat lagi. Ia sudah berangkat. Semua sesuai dengan rencana.

Udayaditya melangkah keluar bilik tidurnya. Sempat mengambil sembah di hadapan Sang Buddha yang berada di bagian utara, ia berjalan menuruni anak tangga menuju halaman depan istana. Tidak seperti khalayak Sriwijaya yang umumnya mengenakan sari kuning atau bertelanjang dada, ia mengenakan pakaian kulit berwarna cokelat kehitaman. Ikat tangan berwarna kuning berada di pergelangan tangannya, sebagai pengingat bahwa dirinya adalah seorang penduduk Sriwijaya. Di pinggangnya tersemat sebuah belati, panah beserta anaknya melekat di punggung.

Udayaditya hendak melangkah keluar istana dan menuju pelabuhan sebelum sebuah suara memanggilnya.

"Udayaditya, kemarilah. Sang raja hendak berpesan padamu."

Udayaditya menoleh dan melihat Sanggabuana memanggilnya dari pintu masuk ruang kebesaran raja. Ia menghentikan langkahnya dan berputar arah mengikuti Sanggabuana. Udayaditya memasuki ruang kebesaran raja. Di hadapannya terbentang sebuah permadani berwarna merah. Di samping – sampingnya pilar – pilar tinggi dan besar menjulang tinggi menuju langit – langit. Seorang insan harus mendongakkan kepalanya ke atas untuk melihat ujung langit – langit itu. Di ujung permadani sebuah kursi berwarna emas terletak dengan segala keanggunannya. Bagian belakang kursi menjulang tinggi, hingga dua kali lipat manusia yang duduk di atasnya. Sebuah bola merah keemasan berada di puncak kursi itu, menandai sang empunya adalah orang nomor satu di kerajaan. Di kiri dan kanannya masing – masing patung singa terbuat dari emas berdiri, layaknya menjaga singgasana dari gangguan penjahat.

Udayaditya melangkah cepat menuju bagian depan ruang kebesaran. Ketidaknyamanannya di hadapan sang raja bukanlah yang pertama kali ia rasakan. Ingin sekali rasanya aku cepat – cepat pergi dari sini dan hadapannya.

"Sungguh semangat yang kuharapkan, anakku. Kau sudah tidak sabar untuk menuju ke medan perang, bukan?"

Udayaditya mengiyakan, "Betul, kakek, aku sudah tidak sabar untuk melaju ke lautan lepas."

Kakek atau raja?

Samagrawira tersenyum, "Mendengar kata kakek pikiranku sepintas teringat akan mendiang nenekmu. Nenekmu adalah adikku yang paling baik. Ia tidak suka bercengkerama dengan para pembesar dan petinggi kerajaan. Dirinya rendah hati, namun memiliki harga diri yang tinggi. Aku melihatnya dalam dirimu. Kau mencintai negeri ini."

Samagrawira menatap lekat – lekat Udayaditya. Bulu kuduk Udayaditya berdiri. Di dalam raganya, Udayaditya berusaha untuk menyembunyikan ketakutan yang ia rasakan.

"Aku sudah ada di kursi ini dari tengah malam. Ketika aku bertemu dengan Balaputradewa beberapa saat yang lalu, aku mengatakan sesuatu kepadanya, sesuatu yang sama akan kuucapkan kepadamu sekarang. Dengarlah baik – baik, pangeran!"

Samagrawira mencengkeram pundak Udayaditya.

"Kalahkan Kerajaan Medang, jangan sisakan seorang pun hidup, jangan beri belas kasihan kepada binatang ternak, dan yang paling penting: jangan mati!"

Nusa AntaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang