UDAYADITYA MAHARDEWA 3

60 5 1
                                    

Kembali seperti semula.

Udayaditya melangkah di anjungan istana Palembang, Kerajaan Sriwijaya. Sari kuning melilit pada tubuhnya. Sakit kepala masih membekas padanya setelah pertempuran di tanah Khmer. Balaputradewa meberikan perintah padanya untuk pulang lebih dahulu dan berisitirahat bersama sang panglima, Vijayasastra. Cedera yang diterimanya lebih ringan dibanding oleh sang panglima sehingga Udayaditya sudah dapat berjalan – jalan di daerah istana.

Udayaditya berhenti di samping patung Buddha yang berada di depan ruangan kebesaran istana Palembang. Ia melayangkan pandangannya jauh ke depan. Matanya menyapu halaman kerajaan yang berwarna putih keemasan. Sebuah air mancur besar berada di tengah halaman dengan air yang sangat jernih. Udayaditya dapat melihat batu pualam dan kuarsa yang berada di dalamnya. Berbagai ruangan mengitari halaman kompleks istana. Salah satunya adalah ruang kesenian dimana ia dan koleganya berlatih sendratari dan kesenian lainnya. Kunjungan singkatnya ke tanah Jawa membuatnya tertarik untuk mempelajari kesenian wayang dimana para pelakon yang menjadi aktor utamanya.

Berkebalikan, di seberang ruang kesenian adalah ruangan yang tidak disukai oleh Udayadita, yaitu tempat penyimpanan senjata. Vijayasastra sering memaksanya untuk mengambil anak panah di ruangan tersebut dan memintanya berlatih memanah di lapangan utara kerajaan dimana segenap pasukan Kerajaan Sriwijaya berlatih. Menjadi olok – olok dan ditertawakan oleh prajurit lain sudah menjadi makanannya saat ia berlatih sendiri. Hanya ketika sang panglima hadirlah tidak ada suara miring yang terdengar. Namun paksaannya itu berguna pada saat pertarungan kemarin. Kalau aku tidak bisa menggunakan pedang, tamat sudah riwayatku.

Sebuah pintu terbuka di ruangan yang berada di sisi barat halaman istana. Ruangan tersebut adalah ruangan kerja sekaligus menjadi bilik sang patih kerajaan, Sanggabuana. Tentunya ia memiliki kediaman sendiri di luar kompleks istana. Bilik tersebut berfungsi dalam keadaan darurat, ketika istana membutuhkan tenaganya pada waktu – waktu genting. Udayaditya memutuskan untuk melangkah menuju ruangan sang patih.

Bukan sosok sang patih yang ditemui oleh Udayaditya di dalam ruangan tersebut, melainkan seorang gadis berusia belasan yang berada di depan sebuah rak buku. Gadis itu memakai pakaian kain dan sepatu kulit, tinggi satu depa setengah, sedang membaca sebuah buku ketika Udayaditya melangkah memasuki ruangan. Kehadiran Udayaditya membuatnya tersenyum manis menyapa tamunya tersebut.

"Selamat pagi, pangeran, selamat datang di ruangan patih Sriwijaya. Adakah gerangan yang bisa kubantu?"

Suara yang lembut dan keramahan tiba – tiba yang dialamatkan pada Udayaditya membuatnya kikuk sejenak.

"Hmm, ya, selamat pagi juga,"

"Maaf, jika engkau mencari patih, ia sedang berada di ruang kebesaran bersama raja."

Udayaditya dengan cepat berusaha menguasai diri.

"Oh, tidak, aku tidak sedang mencari paman Sanggabuana. Aku sedang berjalan – jalan saja, kebetulan pintu ruang patih terbuka, dan kupikir baik untuk bertukar kata barang sejenak dengan paman Sanggabuana."

Sang gadis tersenyum manis.

"Omong – omong, kau siapa? Aku baru melihatmu kali ini. Dan tolong jangan panggil aku pangeran, karena aku memang bukan pangeran. Panggil aku Udayaditya."

"Baik, kakanda Udayaditya, hamba adalah anak dari Sanggabuana. Namaku ialah Alikha Cakranegara. Hari ini ayah mengajakku ke istana, sebagai upah karena aku telah tekun membantu ibuku di rumah."

Begitu polos.

"Kau baru pertama kali kesini namun kau sudah mengenal sosokku."

"Ayah selalu berbicara tentang kerajaan di rumah, kakanda. Selain kakanda, aku juga sudah mengetahui bagaimana sosok paman Balaputradewa."

Nusa AntaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang