Tidaklah baik untuk terus bersedih.
Rakai Pikatan membuka selimutnya. Matahari telah menunjukkan wujudnya beberapa saat lalu. Ia enggan turun dari pembaringannya. Sebuah tulisan dalam bahasa Sansekerta tertempel di dinding hadapannya: Dharmalaksana pralampita pradipta abhipraya. Sambil mengamini kata – kata di dinding tersebut, ia melangkah keluar bilik menuju tempat kediaman raja.
Rakai Pikatan melewati ruang pertemuan. Kosong. Ia melanjutkan langkah menuju ruang peristirahatan raja di tingkat teratas istana Medang. Seorang laki – laki berwajah lugu hadir di depan pintu besar berwarna merah keemasan. Joko Wangkir.
"Selamat pagi, Rakai Pikatan."
"Selamat pagi, panglima."
"Apakah kau juga diminta raja untuk menemaninya memberikan pengumuman sekarang?"
Rakai Pikatan mengangguk.
"Nampaknya raja hanya meminta kita berdua. Semoga dewa memberikan hasil terbaik pada hari ini."
Rakai Pikatan hanya bisa terdiam dan tidak menjawab.
Tidak sampai sepuluh hitungan pintu merah terbuka. Raja memakai pakaian kebesaran dengan perpaduan warna coklat hitam keemasan, mahkota di atas kepalanya, dan kalung berbentuk bulan sabit. Di pundak dan pergelangan kaki terdapat kelat bahu dan kelat kaki. Kancidamanya berwarna emas, dengan sebuah keris yang terlilit pada kancidama. Tangannya memegang tongkat terbuat dari emas. Tatapan matanya dingin, seakan mengetahui bahwa hari ini akan menentukan sejarah kerajaan. Di belakangnya, Ratu Taradyahwardhani mengikuti dengan memakai kebaya berwarna hijau. Selendang putih menghiasi bagian atas dari tubuhnya. Berbeda dari raja, ia menunjukkan ketenangan.
"Baiklah. Kalian sudah berada disini. Mari kita menuju Candi Prambanan."
Berjalan pelan, Joko Wangkir dan Rakai Pikatan melangkah mengikuti di belakang raja dan ratu. Candi Prambanan terletak kurang lebih seratus depa dari istana raja. Ada banyak waktu bagi Rakai Pikatan untuk berpikir sebelum bertemu dengan khalayak ramai.
Pada hari inilah. Pada hari inilah. Nasib Kerajaan Medang akan ditentukan.
Raja sudah menyatakan di rapat kecilnya bahwa ia ingin mengumumkan pernyataan perang di depan rakyat Medang. Rumor memang sudah berkembang bahwa Raja Medang tidak akan berdiam diri dengan permintaan Balaputradewa. Jasabhana menekankan bahwa raja lebih baik lekas mengumumkan pernyataan perang agar rakyat tahu bahwa mereka harus bersiap dalam keadaan siaga. Joko Wangkir kemudian diminta untuk menugaskan anak buahnya memberitahukan kepada rakyat di daerah perumahan – perumahan Prambanan untuk berkumpul pada waktu yang telah ditentukan.
Sebuah perdebatan konyol hadir di rapat kecil. Mpu Panca bersikeras agar pemberitahuan pengumuman dilakukan tidak hanya di Prambanan saja, melainkan di seluruh kabupaten Kerajaan Medang. Sebuah saran yang masuk akal, pikir Rakai Pikatan, hanya saja ini akan menghabiskan waktu dan tenaga. Joko Wangkir melawan ide ini, mengingatkan bahwa tidak perlu memanggil seluruh warga Medang dari pelosok. Yang penting adalah pernyataan pengumuman, sehingga segenap wilayah kerajaan mengetahui bahwa mereka berada dalam keadaan perang. Mpu Panca kemudian berpendapat bahwa menyatukan hati rakyat sangat penting untuk mengusir penjajah. Jika rakyat mendengar raja mereka sendiri berkata – kata dan mengobarkan semangat, mereka tidak akan mudah dipatahkan. Raja menyetujui usul Mpu Panca dan memerintahkannya membantu Joko Wangkir untuk memberitahukan ke seluruh pelosok Kerajaan Medang.
Dan tibalah saatnya yang telah ditentukan.
Masih lima puluh depa dari Candi Prambanan, namun bunyi riuh rendah rakyat Medang sudah terdengar dengan bising di telinga Rakai Pikatan. Raja awalnya hendak memakai alun – alun kota sebagai tempat pengumuman, namun jumlah massa yang jauh lebih banyak dari perkiraan awal membuat pihak kerajaan memindahkan tempat pengumuman ke dataran luas di Candi Prambanan. Di depan Candi Siwa, Wisnu, dan Brahma, raja akan mengumumkan pernyataan perang kepada Kerajaan Sriwijaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nusa Antara
Ficción histórica"Berjaga - jaga adalah sifat manusia yang terbaik. Langit cerah pun akan memunculkan hujan besar jika kita tidak melihat awan hitam di pulau berbeda. Terakhir Samaratungga bertemu Balaputradewa adalah dua puluh lima tahun yang lalu, Putri Pramoda,"...