Ribuan ombak.
Pramodawardhani memandang deburan ombak di bawah. Ia sedang berada di tebing, tanpa menakuti sosok kematian. Berkali – kali diterpa, dinding tebing tetap kokoh berdiri. Ombak – ombak terus menghantam karang, datang tanpa henti. Pramoda membayangkan sosok ayah di sampingnya, memikirkan apa yang akan ia katakan jika berada di sisinya.
Haruskah aku seperti dinding tebing yang tetap teguh berdiri walau diterpa oleh ombak – ombak? Ataukah seperti ombak yang tidak kenal lelah menghujam dinding tebing? Keduanya memberikan makna positif.
Pramodawardhani menatap jauh ke depan. Berbeda dengan gemerisik di bawahnya, laut begitu tenang di kejauhan. Warna biru menjadi pembeda di cakrawala. Sesekali burung camar melayang di atas permukaan laut. Pramoda merasakan rumput yang menjadi pijakannya bergoyang karena angin laut. Ia memang sengaja tidak memakai alas kaki, karena ia merasa telah lama mengenal tempat itu. Matahari memberikan sinar jingganya di sore itu, seakan mengabarkan dunia adalah miliknya. Padahal di tanah yang sama, di bagian utara, sedang terjadi pertumpahan darah.
Ia kembali merenung dan menatap karang – karang di bawahnya. Sebuah pemikiran menyalahkan diri muncul kembali di kepalanya.
Layakkah diriku disebut Sri Kahulunan? Sang dewi pelindung? Di saat rakyatku membutuhkanku aku malah bersembunyi di ujung bumi.
Ia menatap dalam – dalam bebatuan dan arus laut di bawahnya.
Apa yang akan terjadi jika aku menjatuhkan diri ke bawah sana? Aku pastikan aku melompat pada posisi tanpa batu karang. Aku akan hanyut terbawa deburan ombak, pergi melayang entah kemana. Siapa tahu aku akan sampai ke belahan dunia lain.
Lamunannya dipecah oleh sebuah suara yang memanggilnya.
"Tuan putri, jika kau berkenan, aku telah menyiapkan teh kemangi di dalam pondok. Putri Tara telah kembali dari jalan – jalannya, ia sedang berada di dalam pondok."
Pramodawardhani sedikit tercekat, "Iya, Jayaputra, terima kasih. Baik, aku akan menuju pondok sebentar lagi."
Jayaputra memohon diri dan beringsut menuju kuda yang berada di samping pondok. Pramoda menatap ajudannya itu. Di saat – saat genting seperti ini, orang sepertinya menjadi manusia yang memegang peranan penting: sebagai pelindung badan, pengasuh, dan penjaga rahasia. Hanya dirinya, Mpu Galuh, serta raja yang mengetahui dimana Pramodawardhani berada. Dan juga kedua prajurit yang sedari kemarin berdiri di ambang pintu pondok.
Pramodawardhani hendak berbalik badan, merapikan selendangnya, dan berjalan menuju pondok sebelum seorang nenek – nenek pendek berpenampilan cerah bertatapan dengannya. Langkah – langkahnya yang ringan membuat Pramoda tidak menyadari bahwa ia tidak sendirian. Dengan tongkat di tangannya, sang nenek tersenyum, dan Pramoda luluh.
"Selamat sore, nenek."
"Selamat sore, sayangku. Kulihat matahari bersinar cerah di sore ini. Dewa memang begitu baik."
"Betul, nek. Jarang sekali matahari bersinar seperti ini. Angin laut pun tidak terlalu kencang. Aku jadi ingin berenang saja di bawah sana."
Sang nenek tersenyum lebih lebar mendengar lelucon Pramoda, "Kau bukanlah penduduk sini, bukan? Aku baru melihatmu."
"Bukan, nek, aku ini pendatang dari Kerajaan Kediri, hendak beramah tamah dengan Kerajaan Sunda. Aku sedang beristirahat, esok akan melanjutkan perjalanan."
"Pastilah kau ini anak pembesar. Sikap dan kesopananmu melambangkan orang yang terdidik. Dan kau ini cantik. Akan sempurna jika kau adalah seorang permaisuri."
Pramoda tersenyum di dalam hatinya.
"Aku memang berpendidikan, nek. Hanya menghapal kitab Weda dan Wedanta saja. Masih banyak yang harus kupelajari, misalnya kitab - kitab Upanishad dan Ithihasa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Nusa Antara
Fiksi Sejarah"Berjaga - jaga adalah sifat manusia yang terbaik. Langit cerah pun akan memunculkan hujan besar jika kita tidak melihat awan hitam di pulau berbeda. Terakhir Samaratungga bertemu Balaputradewa adalah dua puluh lima tahun yang lalu, Putri Pramoda,"...