PRAMODAWARDHANI 2

206 13 2
                                    

Ayahku memang gila. Serius, namun bisa bercanda berlebihan.

Hari siang terik. Pramodawardhani berada di gapura masuk sebuah candi Buddha. Belum dapat dikatakan candi sebenarnya, karena masih belum selesai. Ia melangkah masuk dan menatap tumpukan bebatuan yang secara rapi tersusun di depannya.

Ini bukan hanya bebatuan. Ini akan menjadi candi termegah dan terbesar di Pulau Jawa.

Pramoda melangkah memasuki kompleks candi. Sebuah candi dengan tinggi hampir empat puluh depa terpampang di depannya. Candi ini memiliki sembilan belas tingkatan yang melambangkan tiga dunia dalam ajaran Buddha: empat tingkat terbawah melambangkan dunia Kamadhatu, sembilan tingkat melambangkan Rupadhatu, dan enam tingkat teratas melambangkan Arupadhatu. Candi memiliki bentuk bujur sangkar berukuran 123 depa, setiap tingkat ukuran bujur sangkar tersebut mengecil, hingga membentuk lingkaran pada tingkatan Arupadhatu, dan pada puncak lingkaran akan terletak stupa utama yang dapat digunakan untuk melakukan sembahyang.

Pramoda menaiki tangga sisi selatan candi. Untuk sampai stupa utama merupakan perjuangan, Pramodawardhani. Namun Pramoda tahu bahwa ia tidak perlu terburu – buru untuk mencapai puncak. Pada tingkatan pertama ia menjumpai seorang pemahat yang sedang memahat dinding candi. Pramoda memerhatikan dari belakang. Gambar yang sedang dibuatnya adalah apa yang dijumpai Pramoda dalam kehidupan sehari – hari: seorang raja dan ratu serta prajurit – prajurit kerajaan berada di dalam sebuah ruangan istana. Tidak puas, Pramoda melangkahkan kaki mengelilingi tingkatan pertama. Stupa – stupa kecil menghiasi perjalanannya. Pada sisi utara ia kembali menjumpai seorang pemahat. Kali ini pemandangan memuaskan sang putri. Pemahat tersebut sedang membuat gambar mengenai seorang brahmana yang sedang berada dalam kondisi boddhisatva, atau dalam bahasa sehari – hari: pembebasan jiwa.

Pramoda kembali menapaki candi. Kali ini dari sisi utara. Pintu masuk setiap lantai ditandai oleh gapura yang dijaga oleh patung singa. Pada tingkat kesembilan, ia tidak lagi melihat relief, stupa, maupun patung singa menghiasi tembok dan dinding candi. Pembangunan candi ini memang belum selesai. Sesampainya pada tingkat kesepuluh, ia dapat melihat puncak candi dimana terdapat stupa utama, dan setiap tingkat tidak lagi memiliki jarak yang jauh sebagaimana pada tingkat Rupadhatu yaitu empat depa per tingkat. Pada tingkatan Arupadhatu, setiap tingkat hanya memiliki perbedaan kurang lebih satu depa, sehingga Pramoda sudah dapat melihat puncak walaupun berada pada tingkat sepuluh.

Pramodawardhani melangkahkan kaki menuju puncak candi. Pada tiap tingkatan ia melihat patung Buddha di dalam stupa yang mengelilingi tingkatan Arupadhatu. Pramoda dapat membedakan patung – patung tersebut berdasarkan isyarat badannya, sebuah kemampuan yang hanya dimiliki oleh pengikut ajaran Buddha terpelajar. Pada tingkat ini hanya terdapat patung Dharmachakramuda saja, pikir Pramodawardhani. Beberapa tingkat teratas belum memiliki stupa atau patung Buddha di dalam stupa tersebut. Sesampainya pada puncak utama Pramoda segera melakukan puja bakti dan namakara pada patung Buddha yang terletak di depannya. Ia meyakini bahwa kebaikan yang dilakukan oleh sang raja kepada rakyat Medang akan terbina di kemudian hari. Terutama dengan pemilihanku terhadap pasangan hidup, yaitu Rakai Pikatan. Semoga kebaikan terjadi untuk seluruh makhluk.

Selesai melakukan puja bakti ia melangkah pelan menuju tangga untuk kembali ke dasar candi, menuju gapura masuk candi dimana Jayaputra ajudannya menunggu. Rakai Pikatan sedang mempersiapkan diri untuk menyambut kedatangan Balaputradewa esoknya, sehingga ia tidak bisa mengantar Pramodawardhani. Lagipula, siapa yang mau mengantar diriku untuk beribadah dengan jarak tempuh selama tiga perempat hari perjalanan jauhnya dari kotaraja?

Rasa penasaranlah yang mengundang Pramoda untuk melangkahkan diri pada candi yang bahkan belum memiliki nama ini. Ia bisa saja mengunjungi Plaosan, atau bahkan Mendut dan Pawon yang walaupun terletak berdekatan dengan candi ini, masih lebih dekat jaraknya jika diukur dari kotaraja. Pembangunan candi ini telah dimulai saat tahun kedua Samagrawira berada di Kerajaan Medang. Tiga puluh tahun belumlah cukup untuk membangun candi megah ini. Walaupun kemampuan Gunadharma sebagai ahli bangun telah diakui setelah ia sendiri yang merekayasa istana Kerajaan Medang, namun rancangan megah yang ia lakukan membuat berbagai pihak kelimpungan. Batu andesit sebagai bahan dasar candi hanya dapat ditemukan pada kaki gunung berapi. Gunung berapi terdekat dari wilayah candi merupakan Gunung Merapi dan Merbabu yang terletak di daerah timur Kerajaan Medang, satu hari perjalanan jauhnya.

Nusa AntaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang