BALAPUTRADEWA 3

86 1 0
                                        

Ribuan debu – debu berterbangan.


Apakah Sang Khalik membenciku?

Aku, di atas kudaku, sekarang berada di dalam Candi Prambanan.

Keponakanku sudah tiba lebih dulu, kota ini sudah dipenuhi oleh pertarungan ketika aku menginjakkan kaki di Prambanan.

Lawannya hanya rakyat biasa, bukan prajurit.

Bahkan tidak ada prajurit seorang pun.

Lihatlah mereka.

Dengan nafsu membunuh terpancar di wajah, senjata pisau garpu dan tombak.

Namun tanpa keahlian.

Ini akan menjadi kemenangan mudah bagi pasukan Sriwijaya.

Aku mencela taktik kakakku, yang membuat warga sebagai benteng perlindungan terakhir Medang, sungguh tidak terpuji.


Tapi mengapa?

Mengapa, wahai Tuhan?

Mengapa kau melindungi kerajaan ini?

Tepat di hari ini, kau kirimkan hujan debu untuk menghalangi mata kami.

Hujan debu yang teramat sangat pekat.

Hujan biasa di pagi tadi, kami masih dapat memahaminya.

Tapi ini?

Apa artinya? Kau menyukai kerajaan ini?

Jarak pandang kami menjadi terbatas, kami tidak tahu sayatan kami mengenai musuh atau kawan.

Kami bahkan tidak mengetahui, apakah kaki kami masih menjejak tanah atau tidak.

Aku menggeleng – gelengkan kepalaku.


Di hadapanku sekarang berdiri tiga candi utama rakyat Hindu.

Walaupun gelap, aku masih melihat bayangan mereka samar – samar: Siwa di tengah, Wisnu, dan Brahma di sisi – sisinya.

Batara Surya pun enggan menampakkan wujudnya.

Aku akui.

Aku kalah di pertarungan ini.

Sriwijaya telah dikalahkan oleh kehendak kahyangan.

Kehendak langit.

Nirwana.


Mari kita hatur sembah menuju candi – candi itu, sebelum kembali ke tanah Sumatera.

Inilah kekalahan pertamaku, kekalahan pertama bagi Kerajaan Sriwijaya.

Jiwa Sang Buddha tidak menyukai pertikaian saudara, terbukti dengan kejadian ini.

Aku menaiki tangga candi, melewati banyak candi – candi kecil yang menghiasi langkahku di kiri kanan.

Sungguh dahsyat candi Siwa ini.

Tinggi sekali, tiang dan menara di Pelabuhan Musi pun kalah tinggi.

Puncaknya melancip, seperti halilintar saja.

Aku bersujud di hadapannya.

Di kiri kananku orang – orang sibuk berkelahi, tidak ada yang memerhatikanku.

Nusa AntaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang