Bagai hembusan angin. Lihat bagaimana kami akan menghancurkan negeri ini.
Dua puluh kapal laut berukuran panjang lima puluh depa, lebar sepuluh depa, dan tinggi kurang lebih dua puluh depa berada di depan pandangan Udayaditya. Tepat di samping kiri dan kanannya terdapat masing – masing tiga puluh kapal berukuran panjang hingga seratus depa. Di belakangnya, membentuk formasi V terdapat dua puluh kapal dengan ukuran panjang lima puluh depa. Tidak ada layar berkembang pada kapal – kapal tersebut, namun orang awam yang menyaksikan kejadian itu akan mengetahui bahwa kapal – kapal megah tersebut berasal dari tanah Sumatera, milik Kerajaan Sriwijaya. Tidak ada satu kerajaan pun di nusantara yang memiliki kapal laut sebanyak dan semegah Sriwijaya.
Udayaditya berjalan mondar – mandir di atas geladak kapal. Suasana di atas kapalnya, dan tidak hanya kapalnya saja, sekarang disibukkan dengan para prajurit dan awak kapal yang sedang mempersiapkan diri untuk turun menuju daratan. Bunyi asahan pedang dan tombak terdengar di mana – mana. Dentingan belati dan perisai besi dapat terdengar jelas di telinganya. Udayaditya bisa menghitung kira – kira sekitar seratus orang prajurit sudah siaga untuk berperang di atas kapalnya.
Ia melangkah menuju haluan kapal. Vijayasastra, sang panglima perang Sriwijaya, dan Basaricandra, sang panglima angkatan laut, terlihat memantau kesiapan seluruh anak buahnya. Udayaditya kemudian melayangkan pandangannya menuju daratan di depannya. Dari kejauhan, di atas tanah berpasir, terlihat kurang lebih seratus ribu orang prajurit lengkap dengan baju besi bersenjatakan tombak dan pedang berbaris rapi membentuk formasi perang. Matahari yang terik menambah tensi yang dihadirkan di Pantai Angkor tersebut.
Sebuah simbol candi merah berlatarbelakangkan biru di bagian pundak prajurit di atas pantai menandakan bahwa prajurit tersebut berasal dari Kekaisaran Khmer. Tepat di bagian terdepan barisan para prajurit seseorang berpakaian besi dengan pedang di tangan kirinya dan bendera di tangan kanannya berada di atas sebuah kuda. Ia menantikan kedatangan perwakilan dari Kerajaan Sriwijaya.
Kini Vijayasastra dan Basaricandra sepakat bahwa prajurit kerajaan telah siap untuk turun ke daratan. Mereka memberikan isyarat pada awak kapal untuk menurunkan anak tangga di samping kapal. Kapal – kapal di belakang diharapkan untuk merapat menuju pantai.
Tepat ketika Vijayasastra akan memberikan isyarat pada anak buahnya, sebuah sosok dengan sari kuning keluar dari bilik kapal. Wajahnya menenangkan, sebuah senyum tersungging pada wajahnya. Balaputradewa melempar pandangannya jauh ke depan ke atas pantai, dan ia menyuruh Vijayasastra untuk menghentikan tindakannya. Ia kembali tersenyum.
"Ada apa, Balaputradewa, mengapa kau menyuruh untuk berhenti? Kami padahal sudah siap."
Tangan Balaputradewa secara perlahan terangkat dan menunjuk pantai. Ia berbicara pelan, "Aku tidak ingin kita ceroboh. Ada pemanah di belakang sana, paman."
Vijayasastra dan Basaricandra tercekat dan kembali mengalihkan pandangan menuju pantai. Mereka tidak melihat pada awalnya, namun jika diperhatikan dengan jelas maka dapat terlihat para pemanah bersembunyi di belakang formasi prajurit. Hampir saja jadi sasaran empuk. Namun situasi ini membuat Vijayasastra kikuk. Para prajurit di atas kapal menatapnya menunggu suruhan selanjutnya. Balaputradewa mengetahui hal ini.
"Tenang, paman, suruh para prajurit untuk kembali menyimpan alat perang mereka. Saran saya kita tunggu sampai matahari terbenam."
Vijayasastra kembali terdiam. Rambut putih di kepalanya bahkan bukanlah ukuran kedewasaan untuk dapat menebak isi kepala Balaputradewa. Balaputradewa mengakhiri kebingungan panglima perangnya dengan mengujarkan sebuah kalimat terkenal yang terbukti ampuh untuk mengalahkan musuh – musuh mereka selama ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nusa Antara
Historical Fiction"Berjaga - jaga adalah sifat manusia yang terbaik. Langit cerah pun akan memunculkan hujan besar jika kita tidak melihat awan hitam di pulau berbeda. Terakhir Samaratungga bertemu Balaputradewa adalah dua puluh lima tahun yang lalu, Putri Pramoda,"...