Tenang, Lohgawe. Anggap ini sebagai latihan.
Tubuh Lohgawe menggigil kedinginan. Ia bersama Ken Arok dan beberapa anak buahnya memacu kuda di lereng bukit. Lohgawe tahu mereka belum mendaki tinggi, tetapi bayangan bahwa ini adalah kaki Gunung Semeru membuat bulu kuduknya merinding. Sinar mentari senja menghiasi perjalanan Lohgawe dan kawan – kawannya, membuat hutan pinus dan cemara di sekeliling mereka memantulkan warna keemasan. Di kejauhan ia dapat melihat asap dari puncak Gunung Semeru. Sungguh ajaib.
Hanya sedikit khalayak yang mereka temui dalam satu jam terakhir. Ranu Pani merupakan perkampungan terakhir yang mereka singgahi. Setelah mengisi perbekalan, mereka bergegas memacu kuda kembali. Tidak ada pembicaraan panjang. Ken Arok merahasiakan tujuan perjalanan, baik dari segi tempat dan maksud. Terlihat bahwa perkumpulan ini sedang diburu oleh waktu. Lohgawe mau tidak mau menyiapkan diri jika harus memacu kuda menuju puncak Gunung Semeru.
Cuaca dingin semakin membuat tubuh Lohgawe menggigil. Pelan – pelan namun pasti, hutan pinus dan cemara membuka jalan lebih lebar. Selanjutnya Lohgawe tidak dapat memercayai apa yang dilihat oleh matanya. Sebuah danau luas dengan air yang sangat jernih, dihiasi dengan perbukitan pinus dan cemara di belakangnya. Sinar mentari sore memantul pada permukaan danau, membuat tempat bernama Ranu Kumbolo tersebut terlihat seperti danau dalam cerita dongeng. Kicauan burung dan bunyi gemerisik jangkrik menambah indah suasana.
Sebuah tongkat dan papan bertuliskan Ranu Kumbolo dalam bahasa Sansekerta tertancap di pinggiran danau. Setelah beberapa hitungan barulah Lohgawe menyadari bahwa banyak orang telah hadir di pinggir danau tersebut, selain dari perkumpulannya. Lohgawe dengan seksama memerhatikan mereka. Memakai pakaian kulit dan celana kain, penampilan orang – orang tersebut tidak jauh berbeda dengan kumpulannya. Ken Arok memberi tanda kepada anak buahnya untuk diam di tempat, namun kepada Lohgawe ia menyuruhnya untuk mengikutinya menuju perkumpulan orang – orang tersebut.
Matahari hampir padam ketika Lohgawe dan Ken Arok sampai pada tempat perkumpulan tersebut. Obor – obor telah siap untuk dinyalakan. Mendekati tempat perkumpulan tersebut, Lohgawe menyadari bahwa keadaan yang terjadi sama seperti kumpulan Ken Arok. Para pemimpin berkumpul di tengah, sedangkan pasukannya jauh mengamati dari belakang. Sepenglihatan Lohgawe, ia memperkirakan enam sampai tujuh pasukan berbeda hadir di tempat itu. Semuanya bandit – bandit pasar.
Jadi ini yang namanya rapat para bandit. Hehehe.
"Selamat malam, wahai para handai taulan, maafkan aku yang terlambat pada pertemuan ini. Aku hampir saja lupa seandainya Jayapati tidak mengingatkanku. Apa kabar hai semua kalian para bandit?" Ken Arok menyapa para pemimpin lainnya diakhiri dengan tawa basa - basi.
Seseorang bertubuh tegap, berambut panjang, bermuka kasar, dan memakai rompi kulit menjawabnya, "Tidak perlu minta maaf, Arok. Hentikan basa – basimu. Masih ada yang lebih parah darimu. Si musang kecil."
Ken Arok sedikit terkejut dan melihat ke sekeliling, "Kau benar, orang itu belum hadir."
"Tidak biasanya ia terlambat, padahal ia informan utama kita. Lebih daripada itu, bisakah kau jelaskan siapa orang di sampingmu itu."
"Orang ini adalah temanku. Perkenalkan, namanya adalah Lohgawe. Ia adalah seorang cendekiawan hebat dan sekarang menjadi penasihatku. Ia akan membawaku menjadi seorang raja Kediri."
Beberapa tawa kecil hadir di kepala para pemimpin. Lohgawe bahkan yakin mereka yang tidak tertawa sedang mengolok – olok dirinya di dalam hati. Seseorang bertubuh besar dan bermata kecil tidak tertawa namun perkataannya akan selalu diingat oleh Lohgawe.
"Terakhir kali seorang mpu membawa seorang raja naik ke singgasana kerajaan terpecah menjadi dua."
Lohgawe ingin menanggapi pernyataan itu namun sebuah bunyi deru yang sangat keras memecah percakapan yang sedang terjadi. Derap langkah kaki – kaki kuda menjadi sumber dari bunyi tersebut. Sama seperti kumpulan lainnya, selang beberapa saat seseorang dengan kuda putih menghampiri tempat para pemimpin.

KAMU SEDANG MEMBACA
Nusa Antara
Ficción histórica"Berjaga - jaga adalah sifat manusia yang terbaik. Langit cerah pun akan memunculkan hujan besar jika kita tidak melihat awan hitam di pulau berbeda. Terakhir Samaratungga bertemu Balaputradewa adalah dua puluh lima tahun yang lalu, Putri Pramoda,"...