Seorang pemuda berenang layaknya seekor lumba – lumba.
Gugusan pulau yang terletak di sebelah timur kota Mahakam, atau di sebelah timur hilir sungai yang bernama sama, membuat arus air pada pertemuan Sungai Mahakam dengan Laut Kalimantan tidaklah kencang. Sebuah kapal cadik tertambat di pantai Pulau Rincing, salah satu anggota gugusan pulau, dengan tiga kepala berada di atasnya. Dua anak laki – laki dan perempuan, serta seorang laki – laki berusia belasan. Ketiganya memakai pakaian yang sama, sebuah rompi hitam dengan jahitan emas di ujung – ujung kainnya, dan celana kain hitam. Laki – laki yang paling tua memakai ikat kepala merah. Sebuah jahitan emas yang lain tersemat di bagian dada rompi tersebut: membentuk gambar pedang bersayap, simbol Kerajaan Kutai.
Laki – laki yang berusia belasan sudah tidak sabaran. Ia berteriak ke arah laut.
"Kak, kapan kita bisa pergi dari tempat ini?"
Tidak ada sahutan dari arah teriakannya. Sekali lagi ia berteriak.
"Kak, sekali lagi aku peringatkan, jika kau tidak menanggapi, kami ayunkan dayung dari samping perahu ini!"
Kini sebuah kepala mencuat dari tengah laut. Matahari yang berada di belakang kepalanya membuat siluet indah di tengah laut.
"Baik, baik, tunggu beberapa hitungan lagi, Panji, aku masih belum bosan untuk berenang di tempat ini. Karangnya indah dan ikan – ikannya unik sekali. Sayang sekali kau tidak bisa berenang, dik!"
Sebuah gerutuan hadir dari mulut laki – laki berusia belasan tersebut.
"Kak, sudahlah, biarkan kakak pertama berenang. Mungkin ia masih belum puas. Kak, bagaimana kalau kita turun dari kapal ini, dan jalan – jalan di Pulau Rincing?" Anak laki – laki yang lain memberikan ide.
"Ide yang bagus, Adityawarman. Kak Mulawarman tidak akan muncul lagi hingga matahari terbenam di langit barat. Ayo, mari kita turun dari kapal ini, aku sudah bosan. Dik, kau ikut kan?"
Anak perempuan sedari tadi hanya duduk termenung menekuk muka dengan gumaman menggerutu. Ia sudah tidak setuju sedari awalnya untuk menemani kakak – kakaknya menjelajahi gugusan pulau. Melihat adiknya terdiam kakaknya berusaha untuk membujuknya.
"Ayolah, adikku sayang, Nagasari yang tercinta. Mari kita jalan – jalan di tempat ini. Aku tahu kau pun bosan. Aku tahu kau akan menendang Kak Mulawarman begitu ia naik ke kapal. Tapi ia tidak akan naik hingga matahari terbenam. Ayo dik, mari kita turun dari kapal ini."
Sang adik akhirnya bersedia menerima ajakan kakaknya. Sementara itu Adityawarman sudah mengamat – amati buah kelapa yang berada di tepian pulau.
"Tunggu aku, dik!"
"Hahaha, Kak Panjiwarman dan Nagasari tidak bisa turun dari kapal? Hahaha, memalukan!"
Celotehan sang adik membuat Panjiwarman dan Nagasari yang sedang turun dari kapal kehilangan keseimbangan. Keduanya terjatuh di bibir pantai. Merasa dipermalukan, Panjiwarman buru – buru bangkit dan mengejar Adityawarman. Sementara itu Nagasari berlari – lari kecil di belakang keduanya. Ketiganya menghilang di balik pepohonan kelapa dan semak belukar di Pulau Rincing.
Perkiraan Panjiwarman ternyata salah, karena tidak sampai matahari terbenam Mulawarman sudah muncul kembali di permukaan laut. Melihat ketiga kepala di atas kapal cadik sudah menghilang, ia buru – buru merapat ke bibir pantai. Kerang – kerang putih kecil menempel pada celananya, sebagian terinjak pada kakinya membuatnya meringis kesakitan ketika melangkah di pasir pantai. Ia memeriksa kapal dan memastikan bahwa mereka tidak merangkak di badan kapal dan bersiap dengan kejutan. Tidak punya pilihan lain, ia berjalan mengikuti jejak – jejak adik – adiknya yang tercetak di pasir Pulau Rincing.

KAMU SEDANG MEMBACA
Nusa Antara
Narrativa Storica"Berjaga - jaga adalah sifat manusia yang terbaik. Langit cerah pun akan memunculkan hujan besar jika kita tidak melihat awan hitam di pulau berbeda. Terakhir Samaratungga bertemu Balaputradewa adalah dua puluh lima tahun yang lalu, Putri Pramoda,"...