Bupati Tumapel. Tunggul Ametung.
Lohgawe berusaha mengingat lelaki yang berada di hadapannya. Ia berada di pojok ruangan pendopo Kabupaten Tumapel, melihat sosok nomor satu di kabupaten itu dari jauh. Sang bupati sedang duduk di atas singgasananya di dalam ruangan pendopo, sedang memerhatikan keluhan seorang rakyatnya. Tunggul Ametung mengelus jenggotnya yang nyaris tidak ada, terkadang tersenyum tipis, matanya tertuju kepada seseorang renta yang memohon keadilan untuk haknya. Dari suara yang memelas dan air mata yang berurai, Lohgawe bahkan mengetahui bahwa kakek ini tidak berbohong. Apa yang diucapkan oleh sang bupati kemudian mengejutkannya.
"Sapi yang kau miliki merupakan milik negara, paman, sebaiknya kau merelakannya saja. Kami bermaksud baik. Daging yang diolah akan kembali kepada rakyat." ujar sang bupati.
Sang kakek memelas lebih lagi, "Oh tuanku, imbalan yang hamba terima tidak sepantaran dengan sapi itu. Hamba butuh lebih untuk menghidupi keluarga hamba. Istri hamba sekarang sedang terkapar lemah karena penyakitnya."
"Paman, tidak perlu menangis lebih kencang", sebuah jawaban dari bupati lebih mengejutkan Lohgawe, "aku harus bertindak adil kepada semua orang. Jika aku memberikan lebih untukmu, semua penjual sapi akan datang ke sini dan melakukan protes."
"Tapi, yang mulia, hanya sapi itulah satu – satunya milikku. Uang yang aku terima pun kurang lima cetak perak dari yang seharusnya aku terima. Tolonglah keadilan bagi hambamu ini, yang mulia."
Sang kakek menangis lebih kencang, namun hal itu tidak berlangsung lama. Dengan satu gerakan tangan, Tunggul Ametung meminta sang kakek untuk dibawa keluar. Ken Arok yang berada di belakangnya tidak memunggu lama untuk berjalan menuju sang kakek, dan membawanya dengan paksa keluar pendopo. Sang kakek pun pasrah dengan perlakuan sang bupati.
Orang ini berlagak layaknya raja. Di tempat Lohgawe terdahulu Bupati Tuban tidak akan mengadili seperti ini, semua persoalan berat dibawa langsung kepada mahapatih. Tentu persoalan remeh dapat diselesaikan langsung oleh sang bupati. Namun bupati yang satu ini berbeda. Bupati Tuban tidak memiliki kursi singgasana yang tinggi berlapis perak. Sang Tunggul Ametung memiliki singgasana mewah, dayang berada di kedua sisinya, para ajudan mengelilingi di belakangnya. Ruang pendopo dialihfungksikan menjadi pengadilan terbuka untuk khalayak umum, dan rakyat dipermalukan di depan publik. Benar – benar pamer kekuasaan.
Kini seorang pemuda merangsek maju ke hadapan sang bupati. Tunggul Ametung memerhatikan dengan seksama pemuda tersebut. Ia berpakaian sederhana, sebuah pakaian kain yang halus, berumur sekitar pertengahan dua puluhan, dan berwajah biasa saja. Sang pemuda bersujud, dan menatap sang bupati.
"Hamba mohon perhatian, wahai paduka bupati, hal ini mengenai adik hamba yang baru saja hendak dinikahkan dengan seorang saudagar kaya yang kebetulan melancong ke kota ini."
Lohgawe tertawa kecil. Wahai paduka bupati. Lucu sekali mendengarnya.
"Saudagar itu kebetulan berada di kota ini untuk melihat kain sutra yang hamba tenun. Tentu hamba menerimanya. Kesialan terjadi ketika ia melihat adik hamba sedang mandi di sebuah kali. Tanpa tedeng aling – aling ia kemudian melakukan perbuatan tidak senonoh kepada adik hamba, tanpa diketahui oleh keluarga. Dan ketika adik hamba menceritakan kepada hamba, saudagar kaya tersebut justru memaksa keluarga hamba untuk melepas adik hamba dengan cara menikahinya. Ia menawarkan uang dalam jumlah besar kepada hamba, namun hamba menolaknya. Ia terus memaksa, bahkan mengancam hendak membinasakan kami. Kepada paduka mulia bupati, hamba mohonkan keadilan bagi adik hamba. Hamba tidak berkuasa dan tidak punya kekuatan untuk menolak keinginan sang saudagar."
Panjang lebar sang pemuda bertutur kata, sang bupati menimpali, "Ada baiknya aku melihat keadaan adikmu untuk menentukan keadilan apa yang akan kau terima."

KAMU SEDANG MEMBACA
Nusa Antara
Historical Fiction"Berjaga - jaga adalah sifat manusia yang terbaik. Langit cerah pun akan memunculkan hujan besar jika kita tidak melihat awan hitam di pulau berbeda. Terakhir Samaratungga bertemu Balaputradewa adalah dua puluh lima tahun yang lalu, Putri Pramoda,"...