RAKAI PIKATAN 7

72 2 0
                                    

Ribuan kisah.

Rakai Pikatan memandang ribuan prajurit yang berbaris dan berlatih perang di lapangan Prambanan. Tangannnya menggenggam secarik kain. Benda itu berwarna merah, terbuat dari beludru. Kabar yang diterimanya dari Mpu Galuh pagi itu sama sekali tidak membuatnya merasa tenang.

Pergi tanpa memberitahuku. Bagus sekali rencana kalian, Mpu Galuh, Pramodawardhani.

Kegelisahan yang melanda membuatnya mondar – mandir di teras bilik lapangan Prambanan. Matahari hampir meninggi, menunjukkan waktu bergerak menuju siang hari. Ia membuka genggaman kain di tangannya. Sebuah tulisan hadir di dalamnya dalam Bahasa Sansekerta, sebuah pesan dari tuan putri sebelum meninggalkan istana Prambanan.

Aku akan aman – aman saja. Jangan cari diriku. Tujukan perhatianmu kepada bangsa ini. Lindungi diri dan bertahanlah. Salam, Pramodawardhani.

Tangannya yang lain mengepal. Di dalam pikirannya setidaknya ia sudah merencanakan hidup mati bersama. Tidak terpisah seperti ini.

Seseorang bertubuh kurus dan berkulit hitam menghampirinya dari belakang.

"Selamat pagi menjelang siang, kawan."

Rakai Pikatan berbalik arah, "Selamat pagi juga, Raka Saputro."

Raka Saputro membuka percakapan, "Kau terlihat gelisah. Ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu? Mungkin aku dapat membantu."

Rakai Pikatan tersenyum dan menggeleng, "Bukan apa – apa."

Raka Saputro berdiri di samping Rakai Pikatan sembari memandang prajurit – prajuritnya, "Kau tahu, sudah dua hari ini aku tidak melihat kedua tuan putri. Jika itu yang menjadi sumber ketidaktenanganmu, aku bisa mencari tahu."

Rakai Pikatan menatap tajam ksatria di sampingnya, "Aku sudah bilang itu bukanlah urusanmu."

Raka Saputro mengangkat bahu, "Baiklah, taulan."

Seorang pelayan menghampiri Rakai Pikatan dan Raka Saputro, "Tuan – tuan, kehadiran tuan – tuan sekarang diharapkan di ruang pendopo istana oleh raja."

Raja Samaratungga memanggil kita?

"Aku dan Raka Saputro?" Rakai Pikatan mengulangi.

"Benar, tuan."

Rakai Pikatan dan Raka Saputro berpandang – pandangan. Mengangguk tanda mengerti, mereka melangkah menuju ruang pendopo istana untuk menghadap raja. Memasuki ruangan, singgasana raja terlihat kosong. Dayang – dayang sedang beristirahat di samping singgasana. Raja berada di samping jendela, memerhatikan prajurit – prajuritnya berlatih tanding. Seseorang berpenampilan seperti penyihir berada di samping raja. Sang patih Medang, Ario Senopati.

Raja menyadari kedatangan Rakai Pikatan dan kompatriotnya. Ia meminta Rakai Pikatan dan Raka Saputro menghampiri. Kedua kolega itu berjalan menuju raja dan menghatur sembah.

"Selamat pagi, yang mulia raja. Salam dalam nama tripurusa."

"Selamat pagi juga, kalian berdua. Dharma Buddha menyertai kalian."

Raja menatap Raka Saputro, "Ada berapa banyak tentara di tempat ini?"

"Sekitar tiga hingga empat ribu, yang mulia raja."

Raja kembali memandang keluar jendela.

"Pergilah kau, bantu pasukan rakyat yang berada di utara Gunung Merapi. Bawa prajurit – prajuritmu seluruhnya. Mpu Manuku, sertai mereka dalam pertarungan di utara sana."

Rakai Pikatan dan Raka Saputro terkejut.

"Tapi, yang mulia, panglima Joko Wangkir sendiri yang memberi titah kepadaku untuk melindungi engkau di istana ini. Hamba adalah pertahanan terakhir, yang mulia raja."

Nusa AntaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang