RAKAI PIKATAN 3

147 6 1
                                    

Hari ini hari milikku. Juga esok masih terbentang.

Rakai Pikatan mengendarai kuda kesayangannya keluar dari pintu gerbang kerajaan. Ia memakai baju kulit tertutup, berbeda dengan kesehariannya dimana ia biasa bertelanjang dada dan hanya mengenakan sari sebagai penutup tubuhnya. Ia juga mengenakan sepatu kulit, berbeda dengan sepatu kaki berikat yang biasa ia kenakan. Sebuah sarung pedang lengkap dengan isinya terikat pada pinggang Rakai Pikatan. Ia mungkin bukan seorang petarung handal, namun setidaknya ia bisa memberikan perlawanan jika harus bertempur. Seorang calon pewaris kerajaan harus memiliki harga diri sebelum ia benar – benar mewarisi tahta. Walaupun aku bukan seorang ksatria.

Salah seorang ksatria menepuk punggung Rakai dari belakang. Ia mengenakan pakaian besi lengkap di atas kudanya, tanda siap bertempur.

"Nampak sedikit gugup, eh pangeran?" sebuah sindiran yang diakhiri tawa ringan. Tawa khas itu membuat Rakai Pikatan sebenarnya tidak perlu membalikkan badan untuk mengetahui sang pemilik. Anggabaya, salah seorang ksatria perang Kerajaan Medang. Badan besarnya kini terbungkus pakaian besi sehingga membuat otot – ototnya terlihat lebih besar dari biasanya. Seseorang ksatria berpakaian besi lainnya berjalan di sebelah Anggabaya. Ia terlihat tidak peduli tindakan Anggabaya.

"Tenang saja, begitu bertemu dengan pasukan Balaputradewa akan kutendang semua pantat prajuritnya, hahaha." lanjut Anggabaya.

Aku ingin sekali melihat orang ini tertikam ketika ia melancarkan lelucon – leluconnya. Kelakuan Anggabaya memang bertolak belakang dengan atasannya, Joko Wangkir. Senang bercanda, kadang tidak pada tempatnya, dan melahirkan konflik baru. Mirip sifatnya dengan sang panglima angkatan laut, Mpu Panca. Nama yang disebut terakhir kini memacu kudanya di sebelah kanan Rakai Pikatan. Berpakaian besi, namun tentu saja yang membedakan ia dan Anggabaya adalah botol tuak di tangan kanannya. Tidak mengatakan apapun, hanya memandang dingin, dan kembali memacu kudanya ke sayap kanan pasukan. Rakai Pikatan melengos di dalam hati. Ia merasa ia belum bisa menyatu dengan pasukan Kerajaan Medang.

Setidaknya aku memiliki seorang tuan putri. Dan sebuah ciuman. Rakai Pikatan mengingat – ingat kembali ciuman yang dilakukan oleh Pramoda. Begitu manis dan lembut. Ingin sekali Rakai mengulangi kejadian tersebut.

Sebuah tepukan kembali mendarat pada punggung Rakai Pikatan.

"Hai, anak muda! Aku tahu apa yang seorang pemuda pikirkan ketika ia menampilkan wajah seperti itu. Kau pikir aku tidak melihatmu tadi?" Anggabaya menggertak Rakai Pikatan sehingga ia tercekat.

"Kau melihatku tadi?" tanya Rakai Pikatan terbata – bata.

Dengan muka serius Anggabaya menjawab, "Tentu saja. Kau berciuman begitu lekat sehingga ketika Pramoda melepaskan bibirnya, kau berkata 'Oh, sayang, jangan lepaskan, aku ingin lagi, sayang,'". Kali ini tawa deras mengakhiri kalimat Anggabaya. Rakai Pikatan dapat mendengar beberapa prajurit di bagian belakang tertawa cekikikan mendengar lelucon Anggabaya. Dengan muka memerah dan sisa – sisa usahanya dalam mengendalikan diri, ia memacu kudanya menuju sayap kiri pasukan. Rakai Pikatan melempar pandangan kepada prajurit di pasukan belakang yang kembali memasang muka serius.

Memiliki Anggabaya di rombongan ini memiliki sisi positif tersendiri. Ia mencairkan suasana. Padahal mungkin ini adalah pertemuan terpenting kerajaan dalam sepuluh tahun terakhir: menghadapi Balaputradewa.

Dari seluruh petinggi kerajaan, hanya raja, Mpu Galuh, dan Jasabhana yang tinggal di istana. Sisanya berangkat. Seratus pasukan berkaki disiapkan sebagai antisipasi Balaputradewa melakukan serangan awal. Namun dari laporan yang diterima oleh anak buah Mpu Panca di Kalingga, tidak terlihat menurut pantauan di laut bahwa Balaputra akan membawa pasukan laut dalam jumlah besar. Ia memprediksi bahwa paling banyak hanya sepuluh kapal galangan akan datang pada pelabuhan Kalingga. Sepuluh kapal pun banyak, bodoh, pikir Rakai Pikatan.

Nusa AntaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang