Rakai Pikatan berada pada ruang pustaka kerajaan. Atau museum buku. Atau rumahnya.
Ia berjalan menyusuri rak – rak buku. Kumpulan rak tersebut terbagi berdasarkan susunan buku – buku. Rak sejarah berisikan buku – buku sejarah kerajaan nusantara. Tentu saja Kerajaan Medang tidak termasuk dalam sejarah tersebut. Medang masih berusia sangat muda, belum genap tiga puluh tahun, dan merupakan penyatuan dari kerajaan – kerajaan kecil dari Dieng hingga Kalasan. Dari rak sejarah tersebut yang paling menarik perhatian Mpu Manuku adalah Kerajaan Sriwijaya. Berdiri sejak abad enam masehi, Kerajaan Sriwijaya berkembang menjadi salah satu kerajaan maritim terbesar di nusantara. Jarang sekali kerajaan tersebut kalah dalam perang karena memiliki angkatan laut yang sangat kuat. Dimanakah lawan dapat bersembunyi, jika pulau sudah dikepung? Semboyan yang sangat terkenal dari Kerajaan Sriwijaya. Selain itu pengaruh agama Buddha juga berhasil ditanamkan pada banyak tempat di nusantara.
Kerajaan Medang belum memiliki semboyan. Rakai Pikatan berpikir apa semboyan kerajaan yang cocok bagi Kerajaan Medang. 'Kerajaan panutan adalah kerajaan yang membebaskan rakyatnya untuk menganut suatu agama'. Ah, buruk. 'Kekuatan dan kekayaan berasal dari kebudayaan beragama'. Kurang cocok.
Seorang anak muda berusia belasan membuka pintu dan melangkah masuk ruang pustaka kerajaan. Berambut lurus dan memiliki tinggi sekitar satu setengah depa, ia membuka percakapan dengan Rakai Pikatan, "Mpu Manuku, pertemuan kerajaan akan diselenggarakan sepuluh menit lagi. Raja berharap engkau segera menuju ke ruang pertemuan kerajaan."
"Baik Mpu Tantular, aku akan segera menuju ke sana." jawab Rakai Pikatan.
Mpu Tantular merupakan cendekiawan termuda di Kerajaan Medang. Ia memiliki masa depan yang cerah. Pada usia lima belas tahun ia didaulat untuk memiliki gelar mpu, dan pada tahun pertama ia berhasil menguasai bahasa sansekerta beserta seluruh aksaranya. Selain aksara Jawa, ia juga sedang mempelajari aksara parahyangan, atau dikenal dengan aksara sunda. Bukan tidak mungkin ia akan menggantikan Mpu Galuh sebagai pemimpin kalangan cendekiawan di Kerajaan Medang. Untuk saat ini Mpu Manuku ditunjuk oleh Mpu Galuh untuk menjadi guru sementara Mpu Tantular. Aku yakin, ia akan lebih pintar dariku suatu saat nanti.
Mpu Tantular melihat Mpu Manuku menutup buku sejarah Kerajaan Sriwijaya. "Sedang mempelajari sejarah Kerajaan Sriwijaya, Mpu Manuku?" tanya Mpu Tantular.
Mpu Manuku tidak menjawab pertanyaan itu. Anak ini memiliki pemikiran yang bagus dan rasa tahu yang tinggi. Namun kau belum sepertiku, Tantular. Belum saatnya. Sebaliknya Rakai Pikatan berkata, "Ayo ikut aku ke ruang pertemuan, barangkali akan ada yang engkau pelajari."
Rakai Pikatan melangkah keluar ruang pustaka kerajaan menuju ruang pertemuan. Tidak berjarak terlalu jauh, hanya dua puluh depa dari ruang pustaka. Dari jarak dua depa di depan pintu Rakai dapat mencium bau tuak yang sangat menyengat. Dia minum – minum lagi. Namun sebenarnya orang itu tidak dapat disalahkan. Ruang pertemuan memang tidak memiliki pengaturan pertukaran udara yang baik. "Cukup perhatikan yang terjadi dan jangan mengeluarkan sepatah kata pun," pinta Mpu Manuku kepada Mpu Tantular. Mpu Tantular mengangguk tanda mengerti.
Memasuki ruang pertemuan, ia melihat bahwa Samaratungga sedang duduk di meja besar berbentuk bulat. Di depannya terbentang peta Pula Jawa. Di sampingnya mengelilingi meja berturut – turut hadir sang panglima kerajaan, Joko Wangkir, sang panglima angkatan laut Mpu Panca dengan bau tuaknya yang khas, serta sang penasihat kerajaan, Jasabhana. Muka musam raja menyambut kedatangan Rakai Pikatan.
"Selamat datang putra mahkota, silakan duduk di kursi kosong di samping Jasabhana."
"Baik, paduka raja."
Raja mulai berkata – kata, "Kami baru saja bertukar pikiran mengenai adikku, Balaputradewa. Percayalah, kesimpulan yang dihasilkan tidak akan menyenangkan hati. Semua yang hadir disini hanyalah mengingatkan kekuatan perang Kerajaan Sriwijaya. Mereka melupakan kenyataan bahwa aku dan Balaputradewa adalah adik kakak. Bahkan hubungan darah ternyata tidak berarti di hadapan mereka."
KAMU SEDANG MEMBACA
Nusa Antara
Historical Fiction"Berjaga - jaga adalah sifat manusia yang terbaik. Langit cerah pun akan memunculkan hujan besar jika kita tidak melihat awan hitam di pulau berbeda. Terakhir Samaratungga bertemu Balaputradewa adalah dua puluh lima tahun yang lalu, Putri Pramoda,"...