LOHGAWE 5

67 3 1
                                    

Ribuan bintang.

Lohgawe menatap langit malam di kaki Gunung Bromo, Tumapel dari tempat duduknya. Tidak seperti biasanya, kini ribuan bintang menghiasi langit. Sesuai kepercayaan masyarakat sekitar, hadirnya bintang – bintang tersebut menandakan sesuatu yang besar akan segera terjadi. Hawa dingin menambah suasana pemandangan semarak di malam itu.

Tentu saja sesuatu yang besar akan terjadi. Hanya saja itu tidak diharapkan orang banyak. Siapa yang menginginkan lautan darah?

Orang di belakangnya menghampiri Lohgawe. Sang brahmana memalingkan muka dan menyadari sang pemimpin ada di sampingnya.

"Kemanakah lawan akan melangkah, jika pulau sudah terkepung?" Kata – kata pertama yang diserukan oleh Ken Arok membuat Lohgawe tersenyum. Namun ia tidak berhenti.

"Kediri menang, Kediri jaya."

Lohgawe menanggapi, "Terbalik, Ken Arok. Kediri jaya, Kediri menang."

Ken Arok tidak memperdulikan perkataan Lohgawe, "Untuk semua kebaikan, aku bersyukur."

"Berbeda – beda namun tetap satu jua."

"Tidak ada seorang pun yang berani mengganggu tanah para dewa."

"Berwibawa, berjaya, dan makmur."

"Emas dan perak adalah kekuatan tidak tertandingi."

"Gunung dan lautan adalah rumah beta."

Lohgawe tersenyum. Ia menyadari bahwa Ken Arok telah mendiktekan padanya semboyan – semboyan kerajaan dari seluruh nusantara.

"Lucu bukan, brahmana? Tidak peduli kerajaan itu besar atau kecil, kuat atau lemah, miskin atau kaya, mereka memiliki semboyan. Mereka memiliki harga diri. Namun semboyan kerajaan ini adalah yang terburuk: Kediri menang, Kediri jaya."

"Kau terbalik lagi. Kediri jaya, Kediri menang."

"Apapun itu. Dengarlah, siapa yang takut dengan semboyan seperti itu. Semboyan Sriwijaya berupa ancaman. Semboyan Kerajaan Bali menandakan pertahanan tangguh. Semboyan rakyat Ternate melambangkan harga diri. Semboyan Kerajaan Makkasar menunjukkan kekayaan. Akankah musuh takut dengan semboyan Kediri? Sebaliknya, mereka memperolok – olok kita."

Lohgawe tersenyum, "Mengapa tidak kau ganti saja?"

Ken Arok menatap Lohgawe, seakan bertanya, "Maksudmu?"

"Ganti saja semboyannya. Jika kau menjadi raja kelak."

Ken Arok mengambil posisi duduk di samping Lohgawe. Ia pun menatap bintang – bintang. Tidak seperti biasanya. Seringkali manusia bernama Ken Arok langsung menghardik jika kusindir.

"Aku ini hanya seorang jagal pasar, brahmana. Kau kemarin menyadarkanku untuk tidak berani bermimpi terlalu tinggi."

"Kapan aku mematikan mimpi – mimpimu, wahai pemimpin?"

Ken Arok menatap Lohgawe.

"Katakanlah apa yang menjadi kelebihanku, brahmana. Pembicaraan dengan Regiastara kemarin menjadi asal muasal keraguan dalam diriku. Dari sisi otot aku masih kalah oleh Bolgun. Otakku tidaklah pintar. Berbakti kepada orang tua dan Dewa Siwa pun aku tidak pandai. Aku bahkan meragukan visimu di Pasar Remuk dahulu akan jadi kenyataan. Jadi bagaimana aku akan menjadi orang terutama di negeri ini?"

Lohgawe berpikir sejenak, lalu menjawab, "Dengan sebuah kata bernama kesempatan. Kau tahu, bagaimana Airlangga menyatukan kerajaan – kerajaan kecil di timur Pulau Jawa ini?"

Ken Arok mengangguk. Cerita Airlangga mempersatukan kerajaan – kerajaan kecil merupakan cerita umum yang bahkan anak – anak di pasar pun mengetahuinya.

Nusa AntaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang