Seruni berangsur sadar. Suara riuh kian jelas terdengar di telinga dan beberapa orang mulai mendekat untuk melihat keberadaannya. Tulang-tulangnya serasa ngilu, matanya memicing, kebingungan. Butuh sedikit waktu lagi untuk sadar sepenuhnya.
Didetik kemudian sebuah kerutan muncul didahi nya. Kenapa tiba-tiba dia ada di sekolah, padahal semalam dia ada di bangunan tua itu. Seruni menggeleng kuat, lalu memalingkan wajah, menatap nanar kearah luar jendela.
"Uni, lo kenapa ?" Pertanyaan dari Marisa- gadis berkerudung yang biasa duduk bersebelahan dengannya. Sambil duduk ditempatnya ia menghadap ke Seruni dengan panik lalu mengusap lembut punggung Seruni dan meneliti keadaan sahabat yang sudah hampir tiga tahun ini mengisi hidupnya selama bersekolah di sini; di SMA Paramitha.
Hari ini adalah hari dimana Marisa melihat Seruni dengan kondisi seperti ini. Ia tidak pernah melihat Seruni berpakaian compangcamping kesekolah, anak itu selalu rapih. Tapi kali ini berbeda.
Ditelitinya seluruh sudut dan permukaan tubuh Seruni sampai ia sadar selain pakaian yang compang-camping, ternyata ada darah yang nampak sudah mengering dirok Sahabat terbaiknya ini.
"Uni, lo kok diam aja ? Ini kenapa ? Kenapa banyak darah dirok loh?"
Seruni enggan menjawab. Rasa takut dan bingung yang tersembunyi membuat bibirnya keluh dan tak dapat bicara. Ia menatap yang lain, lalu beralih ke Marisa. Marisa yang mengerti langsung meminta kepada mereka untuk meninggalkan kerumunan. Ia mencoba memberi pemahaman bahwa Seruni butuh ketenangan.
Bayangan tentang sosok misterius itu terus muncul di kepala Seruni. Pamit berangkat ke sekolah, terbangun dibangunan tua, dan dikembalikan disini. Sungguh ini diluar kemampuan nalarnya.
Seruni menatap Marisa Indriyani Adjari yang sedari tadi menunggunya.
"Cah, gue izin nggak masuk, ya. Nggak enak badan soalnya." ucap Seruni dengan nada lesu dikalimat pertamanya. Ia mencari tas ransel berwarna ungu miliknya saat baru teringat akan benda itu.
"Sakit,Ni? Itu darah apa?" Tanya Marisa yang makin penasaran. Ia meletakan punggung tangannya didahi Seruni, meraba suhu tubuh gadis itu.
"G-gue mimisan d-dan darahnya jatuh kesini." Seruni menunjuk rok abu-abunya. "Baru kali ini tapi gue nggak apa-apa kok, gue izin nggak masuk aja. Sekalian mau istirahat di rumah. Tolongin ya, Cah." Seruni menarik ransel yang ternyata tersimpan di kursinya.
"Beneran nggak apa-apa,Ni?" Tanya Marisa lebih khawatir lagi.
Seruni berdiri, menaruh ransel ke gendongannya. "Nggak apa-apa. Tolongin ya.., bye Icah." Ia melambaikan tangan sambil tersenyum seolah-olah iya memang tidak mengalami apa-apa.
"Ya udah, hati-hati. Nanti gue izinin. Yang lain udah denger juga kok.., tuh." Tunjuk Marisa kesemua orang yang menatap Seruni penuh tanda tanya.
***
Seruni duduk dimeja belajar yang merangkap sebagai tempat riasnya. Ia menatap pantulan wajahnya di cermin dan meneliti setiap inci dari mata sayu yang nampak jelas dibalik manik hitam miliknya.
Penggalan kejadian kemarin lagi-lagi menelesik masuk kedalam pemikirannya.
Ia memutar segala asumsi meski pada ujungnya tidak mampu ia mengerti.Suara ketukan pintu membuat Seruni berucap mempersilahkan kepada siapa saja, untuk masuk dari luar sana.
"Masuk nggak dikunci,"
Saat melihat Kumala yang membuka pintu, Seruni berpindah tempat dan duduk di ujung ranjang-tempat tidurnya.
Kumala bertanya dengan nada lembut. "Sudah pulang ?" Ia mendekat dan ikut duduk disamping Seruni.
"Sudah, Nek." Jawab Seruni menghadap ke neneknya.
"Kenapa pas Uni masuk tidak memberi salam ke nenek ?" Tanya Kumala-wanita parubayah yang selama ini mengurus Seruni dan Kakaknya sepeninggal Vera-ibunya dan Ayahnya-Briliant Nurdin Syarif.
Seruni bermanja meletakkan kepalanya kebahu wanita itu. "Hehe, maaf Nek. Uni kira nenek ke pasar, tadi."
"Dari tadi nenek di ruang jahit loh. Eh, Uni nya malah lewat gitu aja."
"Oh ya masa sih nek ? Maaf, uni nggak liat."
"Iya-iya tidak apa-apa, terus kenapa kemarin tidak telepon langsung ke nenek kalau mau nginap di rumah Icah ?"
"Hah ?" Seruni terangkat kaget saat mendengar penuturan neneknya. Ia sedikit memisahkan jarak setelah melepas pelukan eratnya. Menatap Kumala, dan menelan ludahnya. Lalu setelah itu kembali bersikap biasa.
"Tapi syukur Ayahnya Icah nelepon nenek dan bilang kalau Uni akan menginap di rumah Icah. Kalau tidak bagaimana? Hp Uni juga nggak aktif, pasti nenek sama abang akan bingung nyari kemana."
"Nek, hehe..." Seruni menyengir, "maaf nggak bakal Uni ulang lagi. Maafin ya ? Janji."
"Kali ini nenek maafin. Tapi bener ya, jangan ulang lagi !" Kumala melotot memberi tanda peringatan.
"Iya, iya. Maafin." Peluk Seruni mendekap seluruh tubuh rentah neneknya. Berharap rasa lelahnya lenyap oleh kehangatan wanita itu.
"Ya sudah makan sana. Nenek udah buatin sup laksa. Tapi, panaskan sendiri. Sudah besar kan?" Kumala mengelus lembut rambut Seruni. Cucu perempuan satu-satunya yang tersisa setelah Sefanya meninggalkannya begitu jauh hingga tidak mengatakan kata untuk kembali lagi.
***
Beberapa saat lalu, Seruni menyaksikan keadaan Sefanya Syarif-kakak perempuannya. Ditemukan tewas dalam keadaan yang mengenaskan; tergeletak tak bernyawa, darah memenuhi pergelangan tangannya dari luka sayat dinadi dan benturan keras yang membekas dikepalnya.
Kasus itu, tidak pernah usai dari pikiran Seruni meski pihak kepolisian telah menutup dan memastikan kasus itu murni bunuh diri. Bagi Seruni, ada hal lain yang belum benar-benar usai.
Ia tidak menyangkah akan secepat itu Sefanya meninggalkannya. Meski keluarga yang tersisa sudah mulai bisa menerima, tetap saja bagi Seruni ini bukan hal yang mudah. Ada sesuatu yang menjanggal, dan semoga suatu saat dapat menemui jawabnya.
Belum habis kisah kelam mengenai kakaknya, kini dia dihadapkan dengan satu kejadian baru. Kemarin itu, bukan hal main-main. Ada hal yang menjadi dasar atas pembekapan yang terjadi semalam dan yang Seruni takutkan ini semua berkaitan.
.
.
.
Lanjut >>>Ajak teman-teman lain untuk membacanya:-)
Bonus pic;
Adhisty Zara as ~Seruni Syarif~
Pas banget , Salam dari gadis Ungu💜
KAMU SEDANG MEMBACA
Alfa & Seruni ???
Mystery / ThrillerTerbangun dalam keadaan terikat di bangku berkarat dalam sebuah gedung tua yang menyeramkan ! Membuat Seruni begitu merasa ketakutan. Darah yang menetes dari hidungnya menyisakan rasa perih yang tidak bisa ia tahan. Ditengah ketakutan, sese...