💜 10 : Semua Berkaitan

27 9 2
                                    

Wajib Vote SEBELUM BACA !!!!

Seruni duduk bersila di pilar teras belakang. Matanya menatap lurus kedepan memandang air hujan yang bertubrukan dengan air kolam.
Ia sengaja menghiraukan hawa dingin yang menelesik kepori-pori kulitnya. Sesekali, manik hitamnya ikut hanyut dalam atraksi beberapa ikan. Lalu, kembali lagi menatap nanar tanpa sebuah kesimpulan.

Potongan ingatan tentang kejadian beberapa hari lalu tidak pernah hilang. Selalu ada celah meski Seruni berusaha untuk lupa.

Langit jingga tidak nampak menyelimuti cakrawala. Semuanya tergantikan. Hanya awan kelabu yang pada akhirnya tak berhenti menurunkan hujan.

Seruni masih saja duduk diam, suhu dingin lantai tidak juga menyingkirkannya dari sana. Ia tetap duduk dan mempertahankan posisi yang sama. Cepat atau lambat, harus ada jawaban atas apa yang terjadi.

Suara penelepon waktu itu masih jelas diingatannya dan yang paling menyakitkan adalah kalimat yang mengatakan bahwa disitu kakaknya lah yang disalahkan.

Apa yang bisa Seruni lakukan untuk setidaknya membuktikan kalau semua perkataan itu hanyalah omong kosong belaka. Dalam pikirannya ia justru berpikir dan menyimpulkan sendiri, jangan-jangan orang itu lah yang salah.

Sepintas terlintas penggalan kejadian di gedung tua, sosok itu membuat Seruni begitu bertanya-tanya akan tujuan dari pembekapan itu. Seruni menarik napas dalam, untuk sementara ia berani menyimpulkan– kalau ini semua memang berkaitan. Ia menghembuskan napas panjang lalu menengadah ke atas awan.

Perlahan ia berangsur menggeser kan badan, membawa dirinya ke pinggiran teras, tangannya terulur menadah hujan. Menikmati rintiknya yang jatuh satu-persatu membentur telapak tangan. Percikkan yang tercipta mengenai bingkai wajahnya. Sebentar saja, ia ingin merasakan dinginnya.

Beberapa menit terlewatkan. Seruni masih berbeta menikmatinya, tidak peduli hampir sekujur tubuhnya kini telah basah akibat air hujan.

"Uni, kenapa basa-basahan?" Suara lembut Kumala terdengar mulai mendekatinya.

Wanita paruh baya itu membungkuk, dan mengangkat tubuh Seruni perlahan. "Sudah mau malam ayo masuk kedalam," ajaknya pada Seruni.

Seruni meringankan badan dan mengikuti ajakkan sang nenek. "Adem nek, udah lama nggak main ujan." gumam Seruni. Ia mulai masuk disusul sang nenek dari belakang.

"Adem...Malamnya, badan malah anget. Nenek tau kamu gimana," protes Kumala.

"Itukan pas Uni kecil, sekarang Uni udah besar Nek, Nenek ragu kalau Uni udah tumbuh jadi cewek kuat?" kekeh Seruni. Mereka akhirnya tiba diruang tengah.

"Kuat. kuat apanya?! Orang kena ujan dikit langsung demam, minggu lalu itu apa?" Kumala menyindir Seruni yang berlagak kuat. Ia teringat saat cucu perempuannya itu diserang flu berat karena pulang naik motor ditengah hujan.

"Sudah sana mandi abis itu ke dapur kita makan."

Seruni menyengir, "Hehe... Nek, ada air anget nggak?!" Tanya Seruni bernegosiasi.

"Hal–lah, tuh kan?!" Kumala membalasnya,

"Pi bikin sendiri, so besar toh? " balas Kumala mengeluarkan aksen bahasa Manado yang memiliki arti: sana bikin sendiri, sudah besar, kan?

Nenek Kumala adalah anak dari dua orang yang punya latar belakang suku dan tempat yang berbeda. Ayahnya orang Sulawesi Utara, dan ibunya, Jawa. Karena cukup lama tinggal di Manado, jadi beliau terkadang berbicara dengan aksen orang sana.

Sedikit-sedikit orang rumah paham akan bahasa sana. Maklum, Nenek Kumala adalah tipe orang tua yang suka sekali mengajarkan kepada anak dan cucunya. Jadi dia sering mengajarkan Seruni, Reno, Almh.Sefanya dan anak-anak generasi pertamanya tentang keragaman budaya dari pengalaman hidupnya.

Alfa & Seruni ???Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang