Bunyi derap telapak kaki yang menghentak lantai kian menggema di sepinya lorong rumah sakit. Napas yang tersengal tidak membuat ia ingin menghentikan larinya barang sebentar saja. Pria paruh baya itu masih terlihat sangat bugar, punggung tangan kokohnya menyeka bulir keringat yang membasahi dahi dan pelipisnya yang terkesan tegas dengan hiasan kerut-kerut halus yang termakan usia. Kim Jongin sudah tidak sempat berpikir jernih ketika mendapat panggilan telepon dari istri tercintanya mengenai keadaan putra sulung keluarga Kim, ia meninggalkan setumpuk pekerjaannya di kantor dan memburu supir pribadinya untuk melesat ke rumah sakit dengan kecepatan yang paling memungkinkan.
Wonwoo terjatuh dari tangga rumah mereka. Terguling tidak hanya sekali, melainkan berkali-kali. Serangan tiba-tiba penyakitnya saat ia sedang berada di tangga mengakibatkan hal yang sangat fatal kemudian. Kepalanya terkena benturan hebat, Kyungsoo sudah tidak bisa lagi membayangkan apa yang akan terjadi pada putra manisnya, penyakit saraf yang dideritanya, ditambah lagi benturan yang terjadi di kepalanya, serta tibia yang retak. Kemungkinan besar Wonwoo akan lumpuh entah hanya bersifat sementara atau permanen, begitu kalimat pendek yang dikatakan dokter saat selesai melakukan serangkaian pemeriksaan kepada Wonwoo.
Kalimat yang cukup pendek. Namun membuat dunia kecil sang ibu kiamat dan runtuh begitu saja dalam sekejap mata. Tak hanya sang ibu, begitu mendengar kalimat yang disampaikan oleh dokter dengan intonasi empati, Mingyu rasa-rasanya ingin lesap saja dari dunia. Orbitnya terasa kosong, lintasannya tak lagi jelas dan terasa acak, Mingyu hilang arah. Multiple Sclerosis, begitu yang sekilas Mingyu dengar dari pembicaraan dokter dengan ibunya. Dan Mingyu bukan seorang yang bodoh tentang itu. Ia tahu seluk beluk penyakit yang menyerang saudara kembarnya itu. Sebuah spekulasi tanpa akhir dengan kemungkinan terburuk adalah kelumpuhan permanen. Ia mengernyit saat tahu bahwa Wonwoo telah lama mengidapnya. Kilas balik fragmen cerita kesehariannya dengan Wonwoo terputar bagai kaset rusak yang berulang. Ia tidak pernah ingat bahwa Wonwoo pernah mengalami gejala sakitnya itu, atau Wonwoo yang terlalu pandai menyembunyikannya?
"Yeobo ..." Jongin memanggil lirih Kyungsoo yang sedang melihat Wonwoo dari kaca ruang intensif tempat perawatan putranya itu. Kyungsoo menoleh dan membiarkan dekapan Jongin menghapus jarak di antara mereka. "Tidak apa-apa, ia anak yang kuat. Ia pasti bisa, Wonwoo pasti bisa." Isak tangis Kyungsoo yang lirih menjadi nyanyian syahdu pada malam hari yang sepi di ruang intensif perawatan Wonwoo.
"Sejak kapan ayah, ibu?" Suara bariton serak milik Mingyu menyeruak paksa ke permukaan. "Sejak kapan Wonwoo-ku sakit? Sejak kapan ayah dan ibu menyembunyikannya?"
"Mingyu-ya ..." Jongin membuka suara sedangkan isak Kyungsoo makin kencang dalam pelukan sang kepala keluarga Kim.
"Jawab saja ayah, sejak kapan Wonwoo-ku sakit?" Sebuah kalimat dengan senandung yang sarat akan elegi dan nelangsa kembali keluar dari mulut putra keduanya.
"Sejak tiga tahun yang lalu Mingyu, saat kalian pertama kali memasuki universitas." Kali ini Kyungsoo yang berusaha menjawab pertanyaan Mingyu masih dengan sedu sedan yang menyelimutinya.
Mingyu terduduk lemas hingga ke lantai. Menyandarkan kepalanya pada dinding yang membatasi dirinya dengan sang belahan jiwa yang tak sadarkan diri. Nasal cannula yang melilit hidungnya, kain perban putih yang membebat kepalanya, serta balutan gips yang menopang tungkai kurusnya. Mingyu tidak kuasa menahan tumpah ruah air matanya ketika melihat pemandangan itu.
"Kapan Wonwoo-ku dipindahkan ke ruang rawat Suster?" Mingyu menengadahkan kepalanya, bertanya pada seorang perawat yang baru saja keluar ruang intensif setelah menyuntikkan obat pada botol infus saudara kembarnya itu.
"Kita tunggu kabar dari dokter Lee terlebih dahulu ya. Saya permisi." Perawat itu membungkuk dan dibalas anggukan ringan oleh Kyungsoo dan Jongin. Mingyu kembali menunduk lesu lantaran ia tak bisa menunggui Wonwoo sambil menggenggam tangan pemuda manis itu jika masih terkurung dalam ruang intensif.
~~~
"Mom ..."
"Ya sayang?"
"Mom kenal dengan Bibi Kyungsoo?" Yebin bertanya pada sang ibu yang sedang membuatkan salad buah untuk putrinya itu. Yebin sampai di rumah ketika waktu makan malam telah terlewat. Maka dari itu Yebin hanya akan memakan salad buah untuk pengganjal perutnya. Ia tetap anak perempuan yang takut bertambah berat badannya jika makan malam. Padahal Wonwoo pernah bilang bahwa Yebin cantik dalam keadaan apapun. Mengingat itu, Yebin kembali senyum-senyum sendiri.
"Tentu saja Mom mengenalnya, ia sahabat Mom sejak junior high school. Memangnya ada apa? Eh memangnya kau bertemu bibi Kyungsoo dimana?" Seulgi meletakkan mangkuk kaca berisi salad buah ke hadapan putrinya yang tengah bersila di sofa ruang keluarga, tangannya terulur untuk membelai rambut panjang cokelat gelap milik putrinya.
"Aku baru saja pulang dari rumahnya, Mom. Ah bagaimana ya mengatakannya ... Aku malu ..." Gadis cantik itu menutup wajahnya yang kini telah terhias rona merah muda segar seperti kelopak cherry blossom musim semi.
"Eiiyy ... Jangan katakan bahwa kau memiliki hubungan dengan salah satu putra tampan Bibi Kyungsoo?" Seulgi menggoda sambil menjawil dagu runcing milik putri tunggalnya itu.
"Belum Mom ... Belum ada hubungan apapun. Kami hanya teman, tetapi Wonwoo-oppa sangat baik. Aku menyukainya." Gadis itu kembali menutup wajahnya hingga sang ibu tergelak melihat tingkah kasmaran putrinya.
"Dia memang anak yang baik, sopan, dan sangat pintar. Tapi kau yakin menyukai Wonwoo?" Seulgi meredakan gelak tawanya tiba-tiba, ia teringat ketika pertama kali Kyungsoo menangis di hadapannya saat wanita cantik bermata bulat itu menceritakan bahwa Wonwoo, putranya terserang penyakit saraf yang lumayan langka.
"Yakin Mom, sangat yakin. Apa boleh?" Binar mata Yebin membuat hati Seulgi tersentuh.
"Boleh sayang, mungkin memang kau yang ditakdirkan akan menyinari kehidupan Wonwoo, putri Mommy pasti tidak akan mengecewakan." Seulgi mengecup kening Yebin yang sedang sibuk mengunyah salad buahnya.
Jika memang Yebin masuk ke dalam orbit kehidupan Wonwoo, maka Seulgi yakin bahwa putrinya lah yang bisa menguatkan pemuda itu dalam menjalani hidup. Takdir memang kadang seperti lelucon tentang siapa yang tercipta untuk melengkapi siapa. Jika Yebin terlahir untuk seringkali merasa takut, maka Wonwoo akan ada untuk memberi rasa aman. Begitu yang Seulgi ingat saat keduanya masih kecil dulu. Maka sekarang adalah sebaliknya. Yebin akan ada untuk menguatkan pemuda itu.
Dering telepon memecah kesunyian yang tercipta di ruang keluarga itu. Yebin hanya tinggal bersama dengan Seulgi, ibunya, sejak sang ayah meninggal dunia. Marganya mengikuti marga Kang, marga sang ibu karena ayahnya warga negara asing yang tidak memiliki marga. Seulgi beranjak untuk mengangkat telepon dan Yebin masih asyik mengunyah salad buahnya yang tidak habis-habis sejak tadi sambil menonton acara musik kesukaannya.
"Yebin-ah, cepat selesaikan makanmu. Kita ke rumah sakit." Seulgi mengusap lembut kepala sang putri sambil menatap dengan lekat, menandakan bahwa ia harus segera bergegas.
~~~
To be continued
P.S.
Readers tahu visualisasinya Yebin 'kan? Kang Yebin a.k.a Rena Pristin. Kenapa aku pilih dia, karena wajahnya terkesan tegas dan mampu melindungi. Di sini meskipun Wonwoo yang laki-laki, tapi Yebin akan berperan besar ke depannya.
Bias cewek setelah Seulgi 💕
Selamat membuka kotak pandora!
KAMU SEDANG MEMBACA
Ursa Major [Meanie] ✓
FanfictionMingyu dan Wonwoo selayaknya bintang Mizar dan Alcor di konstelasi Ursa Major.