4

3.5K 640 25
                                    

"Ayah!" Wonwoo menghambur begitu saja, menghempas tubuh ringannya ke arah Jongin yang sedang duduk di sofa ruang keluarga. Seketika Jongin terkekeh melihat tingkah laku anak tertuanya yang malah terlihat lebih kekanakkan daripada saudara kembarnya.

"Sayang, jangan berlari seperti itu ..." Tubuh tinggi Wonwoo menenggelamkan Jongin, putranya tampak tumbuh dengan baik semakin hari. Meski tetap saja pertumbuhan Mingyu terlampau lebih cepat. "Pergi kemana saja dengan ibu, hmm?" Jongin mengecupi wajah tirus Wonwoo.

"Aku pergi ke ruㅡ, eh makan es krim dan ke toko bunga langganan ibu. Uuuh ... Ayah berhenti menciumku. Lihat tuh, mata Mingyu sudah berkilat marah." Wonwoo mendekatkan bibirnya ke telinga sang ayah lalu berbisik, "Karena Mingyu sama sekali tidak dapat ciuman hari ini, dari ibu pun tidak. Hihihihi."

Mingyu hanya mendengus sebal melihat Wonwoo dan Jongin yang terkikik bersama, ia lantas membuntuti sang ibu yang baru saja keluar dari dapur sambil membawa baki yang berisi camilan dan teh madu hangat kesukaan Jongin. Setelah meletakkan baki di atas meja, Kyungsoo duduk dan ikut bercanda di ruang keluarga. Sedangkan Mingyu langsung cepat-cepat memeluk ibunya untuk dimonopoli sendiri, seakan-akan tidak boleh ada yang mendekati ibunya. Pemuda tinggi itu sesekali melirik Wonwoo dengan tatapan mengejek karena telah berhasil merebut ibunya. Kyungsoo sendiri hanya tersenyum tak habis-habis melihat interaksi kedua putra kembarnya. Jemari lentiknya sibuk mengusap kepala Mingyu yang kini sudah nyaman di pahanya. Sebuah ciuman yang dalam dan lembut menghampiri kening Mingyu.

"Ibu menciumku?! Ah aku terharu ..." Mingyu berkata dengan intonasi yang dilebih-lebihkan membuat ciuman itu berganti dengan jitakkan kecil dari sang ibu. "Oh iya, karena kita sedang berkumpul, aku mau berbicara sesuatu." Mingyu bangun dari posisi nyamannya untuk menggapai tas kuliah miliknya dan mengeluarkan amplop putih berlambangkan logo universitasnya.

Di hadapannya Jongin menghela napas dan Wonwoo sedikit menjadi lebih diam dari sebelumnya. Ia sebenarnya telah mengetahui sekilas perihal lomba yang akan diikuti oleh kembarannya itu dari Yebin. Hanya Kyungsoo sang ibu yang sama sekali belum mengetahuinya saat ini. Mingyu memberikan amplop putih kepada ibunya, membuat sang ibu mengernyit keheranan.

"Bukalah bu, ibu pasti bangga. Hehehe." Mingyu berujar sambil memberikan cengiran canggung.

"Apa ini?" Kyungsoo bertanya namun tangannya tak henti membuka amplop dan membacanya perlahan-lahan. "Kau akan ke Inggris?" Kyungsoo memekik tertahan sambil menutup mulutnya, suatu kebanggaan tersendiri bahwa salah satu putranya menjadi delegasi kampus untuk kompetisi debat internasional. "Ibu bangga padamu, Mingyu." Kyungsoo memeluk erat Mingyu, menghujani kecupan kecil-kecil pada pipi yang sedikit berisi itu.

Wonwoo menunduk, menyembunyikan ekspresi sedihnya. Mingyu akan pergi, maka tidak ada lagi orang yang setiap malam mengendap-endap berpindah ke kamarnya dan melesakkan diri ke dalam selimutnya. Atau mengecup lembut bibir merah mudanya di dini hari yang dingin dengan lampu kamar yang redup selama satu bulan ke depan. Hela napas panjang yang terlampau kentara membuat sang ayah menoleh ke arah Wonwoo.

"Kau tidak ingin Mingyu pergi?" Jongin berkata pelan namun mampu mengalihkan atensi Kyungsoo dan Mingyu yang masih terlarut dalam euforia tadi.

"Tidak juga, aku hanya akan kesepian nantinya. Lagipula itu berarti aku akan merepotkan ibu karena harus mengantar aku ke kampus." Wonwoo tertunduk lesu, membuat Mingyu yang duduk di sofa seberangnya langsung beranjak, berlutut di hadapannya.

Tangan Mingyu terulur menggenggam jemari lentik Wonwoo yang bergetar. Mingyu berlutut di hadapan Wonwoo, menempatkan dirinya di atas karpet lembut ruang keluarga. Ia meletakkan kepalanya di lutut Wonwoo, mengecup kecil-kecil tungkai kurus itu. Jongin dan Kyungsoo hanya saling diam serta melempar tatap. Mereka kembar, naluri mereka terhubung, wajar jika akan sedih ketika salah satu dari mereka harus pergi jauh, interaksi kedekatan yang melibatkan kontak fisik juga terlihat biasa saja karena Mingyu terlalu posesif dan menyayangi Wonwoo, sebaliknya Wonwoo terlihat manja dan bergantung pada Mingyu semuanya dalam kadar yang pas, tidak berlebihan. Hanya hal sederhana itu yang terbesit di pikiran kedua orang tuanya.

"Kalau kau tidak mengizinkan, maka aku tidak akan pergi. Atau aku akan membawamu ikut bersamaku?" Mingyu mengusap lembut pipi Wonwoo dengan punggung tangannya.

"Tidak!" Kyungsoo dan Jongin berbicara serentak.

Wonwoo dan Mingyu melempar tatap ke arah ayah dan ibunya. Mingyu dengan ekspresi keheranan dan Wonwoo dengan tatapan memelasnya.

"Tidak sayang, Wonwoo tidak akan kemana-mana." Kali ini Kyungsoo angkat bicara, serangkaian kalimat yang sama dengan yang Jongin katakan saat di mobil bersama Mingyu tadi. Mingyu kembali berpikir apa yang salah jika Wonwoo ikut dengannya.

"Mana mungkin aku tidak mengizinkanmu, Gyu. Kau sudah membuat bangga ayah, ibu, dan tentu saja aku. Bukankah untuk kompetisi itu aku sudah mengorbankan waktuku untuk mengajarimu. Pergi saja, tidak apa-apa." Wonwoo mengusak rambut kecokelatan milik Mingyu sambil tersenyum. Suatu senyuman kebohongan yang hanya bisa diartikan oleh Mingyu. "Aku ke kamar dulu ayah, ibu." Wonwoo membungkuk kepada kedua orang tuanya dan berjalan pelan ke kamarnya di lantai dua.

Mingyu memandangi punggung kurus milik pemuda manis itu. Saudara kembarnya sekaligus pujaan hatinya. "Sayang, Wonwoo akan baik-baik saja, yang ibu khawatirkan itu kau. Memangnya bisa jauh dari ibu dan Wonwoo? Dulu saja saat Wonwoo pergi selama dua minggu, kau sampai sakit hingga ibu kebingungan." Mingyu kembali duduk di samping Kyungsoo. Memeluk sang ibu dengan erat sambil mengembuskan napas panjang.

"Aku juga akan ke kamar bu ..." Mingyu beranjak pergi dari ruang keluarga.

~~~

Pemuda manis bermata tajam serupa rubah itu sedang berbaring menghadap jendela yang terbuka. Awan kelabu bulan Desember selalu menjadi kesukaan Wonwoo, selimut telah menutupi tubuhnya sebatas pinggang, ia telah mandi dan berganti dengan pakaian santai, hanya sehelai kaus oversize berwarna putih dan celana tidur berwarna biru navy. Derit pintu yang terbuka tidak cukup mengalihkan pandangannya untuk sebuah rasa ingin tahu, ia telah hafal. Seseorang yang berani masuk ke kamarnya tanpa ketukan dan langsung menaiki ranjang besarnya itu hanya Mingyu. Sepasang lengan memberatkan pinggangnya, melingkar dengan congkak seakan-akan hanya lengan itu yang boleh memeluknya.

"Katakan saja kalau kau memang tidak ingin aku pergi." Mingyu berbisik lembut sambil mengusak ujung hidungnya di rambut beraroma mint milik Wonwoo.

"Pergi saja, aku tidak apa-apa kok." Wonwoo berbalik menghadap Mingyu, membelai wajah tampan adik kembarnya.

"Tapi aku yang tidak mampu jauh darimu." Sebuah ciuman lembut jatuh di bibir merah muda yang manis milik Wonwoo.

"Kalau kau tidak pergi, aku akan kecewa. Kau masih ingat 'kan kalau kau harus bersinar untukku?" Mingyu mengangguk dan kali ini Wonwoo yang menyatukan bibir mereka dalam kecupan-kecupan kecil yang menggetarkan.

"Aku sudah mengunci pintunya tadi." Suara Mingyu teredam pada ciuman itu dan Wonwoo mengangguk.

~~~

"Kau harus bersinar untukku selama di sini, Gyu ..."

"Memangnya kenapa?"

"Karena aku tidak bisa. Tapi tenang, nanti berganti aku yang akan menyinarimu."

"Benarkah?"

"Nanti aku akan jadi bintang Alcor yang setia terhadap Mizar, meski terpisah jauh. Bagaimana?"

Mingyu kecil mengangguk dan menghamburkan diri ke dalam pelukan saudara kembarnya.

~~~


To be continued

P.S.

as usual, tulisanku alurnya terlalu lama :(

Selamat membuka kotak pandora!

Ursa Major [Meanie] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang